Ini ide muncul tadi pagi, mungkin karena aku sebagai penulis lagi merasa senang jadi cerpennya sedikit bersemangat.
Ini juga bisa jadi hadiah buat kalian yang udah ngucapin selamat ulang tahun buat aku, terimakasih atas doa - doanya. Senoga kalian juga mendapatkan kebahagiaan yang sama denganku :-)
Happy reading aja, moga kalian suka ya!
Aku akan bercerita pada kalian kalau aku sedang jatuh cinta, Ya jatuh cinta dengan seorang cowok yang duduk didepan tak jauh dari meja kantin kami, cowok itu bernama Alan yang sudah hampir tiga tahun ini aku taksir.
Kalian pasti penasaran? kenapa bisa aku menaksir dia selama itu, cinta ini berawal saat aku masih kelas 3 SMP dan pada saat itu aku bertemu untuk pertama kalinya dengan Alan.
"Huuh, nggak ada yang menilai" Gumamku sambil melihat cerpen hasil karanganku dimading sekolah sambil menempelkan jari telunjuk didagu saat pulang sekolah.
"Ehem" Suara dehaman membuatku tersadar lalu menoleh kearahnya dan mendapati seorang cowok putih berdiri disampingku sambil memandangku dengan penuh kekaguman.
"Karya loe bagus, gue suka"Ucapnya pertama kali kepadaku, awalnya aku nggak percaya saat dia mengatakan hal itu, karena pada kenyataannya tidak ada yang pernah mengucapkan hal itu, jadi aku hanya bisa menatapnya dengan tidak percaya.
"Beneran" Katanya meyakinkan sambil melihatku, membuatku mengalihkan pandangan kearah mading.
"Gue yakin loe bisa jadi penulis berbakat" Lanjutnya sambil melihat cerpen karya tulisan tanganku yang tertempel dibanding, mendengar hal itu mau tak mau aku jadi tersenyum dibuatnya.
"Ohya, kalau boleh gue mau pinjem buku naskah cerpen loe donk, soalnya pengen gue bawa pulang. Boleh nggak?" Tanyanya membuatku kembali menatap orang yang disebelahku dengan tak percaya.
"Loe serius?" Tanyaku dan dibalas dengan anggukannya, "Loe mau baca cerpen gue lagi?" Tanyaku kembali dan dibalas dengan anggukannya "Mie apa?" Tanyaku yang ketiga kalinya karena merasa kurang yakin dengan apa yang baru saja terjadi.
"Mie ayam" Jawabnya sambil tersenyum lucu membuatku terasa melambung karena senyumannya yang manis itu, "Jadi boleh nggak?" Tuntutnya membuatku tersadar dan langsung mengangguk secepatnya.
"Boleh tentu saja boleh" Kataku sambil tersenyum nggak jelas, andai nggak ada dia pasti aku akan loncat - loncat dengan girangnya.
Kalian pasti berpikir aku lebay, anggap saja seperti itu! Karena sebelumnya tak pernah ada yang mau membaca karyaku meski sering ku sodorkan kepada teman - temanku, dan entah dari mana cowok itu datang dan ingin membaca seluruh naskah cerpenku.
"Ya udah kalau gitu, besok kita ketemu disini ya! Gue harap loe bawa itu buku" Katanya dan langsung kubalas dengan anggukan lalu ia pergi meninggalkanku tanpa mengucapkan namanya.
Keesokan harinya kami bertemu sepulang sekolah di depan mading sekolah sesuai rencana, meski ia sedikit terlambat karena harus membersihkan kelasnya dulu, namun itu tak membuatku marah padanya.
Aku pun mengeluarkan buku yang berisi cerita - cerita sejak pertama kali aku menulis dan sampai yang terakhir kalinya, aku melihat kedada bagian kanannya mencoba untuk melihat bet namanya, dan saat itu aku tau namanya ALAN R.P, menimbulkan senyum penuh arti dibibirku.
"Ok terima kasih"Katanya membuat tersadar dan menatapnya.
"Harusnya aku yang bilang seperti itu" Kataku dan dia hanya tersenyum,
"Ok gue pulang dulu ya! Kalau menurut gue loe harus sering nulis agar bisa jadi lebih pandai dalam menyusun setiap katanya" Katanya membuatku mengangguk penuh tekad untuk terus menulis, lalu perlahan - lahan dia berjalan meninggalkanku yang sedang terpaku dan memikirkan sesuatu.
"Hei..........hei" Teriakku saat tersadar akan sesuatu namun terlambat karena dia sudah mengayuh sepeda keluar dari gerbang sekolah. "Dia kan belum tau namaku" Gumamku lesu sambil berjalan ke arah parkiran.
Semenjak itu aku selalu mencari tau apapun tentang Alan R.P mulai dari nama panjangnya yang ternyata Alan Riadi Pamungkas, bukan seperti yang aku pikirkan yaitu Alan Rupiah, memikirkan nama belakang Alan adalah Rupiah membuatku tersenyum sendiri.
Aku mencari tau sampai apa yang disukainya, dia sudah punya pacar atau belum, dan lagi dimana tempat tinggalnya, dari berbagai sumber, dari tanya sana - sini sama temen, internet, file - file Alan dari sekolah meski gagal karena itu termasuk privasi murid dan tidak ada yang tau kecuali pihak yang bersangkutan sampai mengikuti Alan saat pulang sekolah agar bisa tau persis dimana rumahnya. Jadi bisa dibilang aku adalah penguntit Alan atau pengagum rahasianya.
****
"Owh jadi begitu kenapa loe suka sama Alan?" Kata Rena temen sebangku yang merangkap sebagai sahabat juga, aku mengangguk sambil menyuapkan makanan kedalam mulut dan melirik Alan yang sedang bercanda dengan teman - temannya.
"Kalian tau! Selama ini pula aku sudah mengiriminya surat cinta yang aku kubuat dengan tanganku sendiri" Kataku bangga akan kegiatan yang setiap bulan aku jalani sampai tiga tahun ini.
Uhuk - uhuk terdengar suara tersedak dari sebelah Rena membuat Rena menepuk - nepuk punggung Lesa sahabatku yang terkadang suka rese ini, aku ralat dia bukan cuma kadang tapi memang rese bin nyebelin. Karena tersedak ia mengambil minuman dan meneguknya lalu melihatku dengan wajah tercengang, sedangkan aku tidak peduli dengannya.
"Loe tinggal di jaman apa sih? Ini udah modern masih pake surat cinta? padahal udah banyak banget metode untuk menyampaikan perasaan kita, dari sms, email, fax, bla . bla........bla" Kata Lesa yang menyebutkan beberapa berkembangan teknologi yang bisa mempercepat datangnya informasi meski dengan jarak terjauh sekalipun, ya walau nggak mungkin bisa sampai akherat sih.
Kalian pasti nggak percaya apa yang aku omongkan tadi, ya aku memang sering mengirimkan sebuah surat ke rumah yang ku ketahui rumah Alan sebagai pemiliknya, eh bukan Alan sih, tapi maksudku orang tua Alan hasil dari penguntitanku selama masa SMP dan sampai sekarang aku sudah SMA, namun tidak lagi menjadi penguntitnya.
"Ya emang kenapa kalau masih pake surat kan biar beda dan lebih ngena gitu" Jawabku mematahkan argumen dari Lesa membuat Lesa hanya geleng - geleng kepala saja.
Alasanku masih menggunakan surat untuk menyatakan perasaanku kepada Alan memang karena ingin berbeda dari yang biasanya, lagi pula dengan kita menulis menggunakan tangan itu lebih berharga dari pada dengan cara lewat teknologi canggih yang sekarang ini, dan juga kenapa aku menggunakan tulisan tangan karena aku ingin dia tau siapa aku dari buku naskah yang pernah ku berikan kepada dengan melihat tulisan tangan yang sama.
"Tapi dibandingkan Alan, Gio jauh lebih cakep deh" Kata Rena sambil memandang ke arah belakangku, membuatku menengok mengikuti pandangan Rena yang berhenti di seorang cowok yang duduk tak jauh dibelakang kami, tepatnya dibelakangku sedang duduk diam sambil menikmati makanannya.
"Ya iyalah orang dia blasteran" Kataku santai tidak terlalu peduli
Cowok yang sedang diperhatikan Rena dan Lesa itu memang cowok campuran indonesia dengan korea membuat wajahnya berbeda dari wajah - wajah cowok di sekitarnya, cowok itu memang cakep dan pintar tapi sayang dia tidak terlalu suka tersenyum, tidak seperti Alan yang selalu menebarkan senyum hangatnya.
"Gue dengar mereka itu sepupuan ya!" Kata Lesa yang sudah mengalihkan pandanganya dari Gio lalu dibalas dengan anggukan Rena, sedangkan aku hanya menatap satu orang yang berada di depanku yaitu Alan.
"Tapi tetap saja Alan yang sudah menarik hatiku karena dialah satu - satunya orang yang menghargai karyaku" Kataku dengan nada memuja sambil terus melihat Alan dan Alan tiba - tiba melihatku lalu tersenyum manis membuatku secara otomatis menutup wajah sambil geleng - geleng kepala karenanya.
Pletak
"Auh sakit tau" Sungutku sebal sambil mengusap - usap kepala karena mendapat jitakan dari Lesa lalu menatap tajam sahabatku yang rese ini,
"APA" Gertaknya membuat nyaliku menciut dan hanya mampu diam tak berkutik
"Lagian loe aneh deh, tiba - tiba aja make pose menutup muka sambil geleng - geleng maksudnya apaan coba? " Tanyanya sambil memandangku garang.
"Nggak tau apa kalau gue lagi seneng ngeliat senyum Alan pas tadi ngeliat gue" Jawabku sambil cemberut dan kedua sahabatku malah saling pandang dengan mulut menganga, lalu menengok kearah belakang mencoba melihat ke meja Alan, tepatnya Alan untuk membuktikan omonganku.
Pletak
"Aduh, kenapa lagi sih" Tanyaku sambil memegang kepala akibat jitakan dari Rena. "Duuh bener - bener deh kalian itu suka banget sih main kasar" Kataku sewot.
"Nggak usah ngimpi, belum tentu dia senyum kearah loe, kan yang cewek disini bukan cuma loe doank. Tuh ada Cantika yang dibelakang sebelah kiri loe" Kata Rena, kali ini aku yang menengok ke belakang untuk memastikan benar tidaknya omongan Rena.
Ternyata memang benar omongan Rena, disana ada Cantika yang sesuai dengan namanya adalah orang yang sangat Cantik dan dipuja oleh semua cowok yang ada disini kecuali Gio dan mungkin Alan. Kalau dari gelagat Gio memang tidak tertarik sama sekali dengan Cantika, tapi kalau Alan, aku nggak tau dia tertarik atau tidak, karena dari Alan memperlakukan semua cewek sama.
Mengingat itu membuatku lesu apalagi saat kembali menghadap kedua sahabatku yang kali ini keduanya sama - sama rese, karena memasang muka "Makanya jangan kepedean" kepadaku.
"Lagian sampai sekarang Alan tidak pernah tau kalau loe yang ngirimin surat kepadanya. Boro - boro dia tau loe itu penggemarnya, orang dia aja nggak tau nama loe kan" Kata Lesa membuatku semakin lesu dan melorot sambil membenamkan wajah diatas meja.
Dia memang benar selama ini Alan tidak pernah tau namaku dan juga dia nggak pernah ingat kalau aku pernah satu sekolah sama dia, bahkan sepertinya dia lupa kalau dia pernah memujiku.
"Tapi itu kan karena mereka nggak pernah sekelas, jadi menurut gue wajar lah kalau Alan nggak kenal Bulan" Kata Rena membuatku menegakkan punggung dan mengangguk dengan cepat karena terlalu semangat.
"Iya dan lagi pula, disetiap surat gue tidak pernah ada nama dan alamat pengirimnya jadi itu wajar bila terjadi" Kataku semangat dan didukung oleh Rena sahabatku tercinta untuk melawan Lesa sahabatku terese ini.
"Kalau begitu gimana kalau loe ngajakin ketemuan tuh sama Alan lewat surat, ya biar semua jelas. Lagian mau sampai kapan loe cuma jadi pengagum rahasianya Alan?" Kata Lesa memberi tantangan.
Sebelumnya tidak pernah terpikir olehku akan membongkar kapan kegiatanku ini, berkat Lesa aku jadi berpikir tentang itu.
"Bener juga, mau sampai kapan ya aku cuma jadi pengagum rahasianya" Kataku dalam hati sambil menyentuh bibir bawahku dengan jari telunjuk.
"Ide yang bagus, nanti gue bikin rencana untuk itu deh" Kataku semangat sambil tersenyum lebar lalu kembali menikmati makanan yang ada didepanku.
****
Rencana untuk membongkar identitasku sebagai pengagum rahasia Alan sudah direncanakan, beberapa hari yang lalu aku mengirim surat pemberitahuan untuk bertemu di sebuah kafe di dekat perkotaan. Aku sudah mempersiapkan segalanya dari rambut sampai ujung kaki ku buat natural tapi tetap terkesan manis sesuai dengan kepribadianku.
"Loe udah siapkan?" Tanya Lesa saat ini kami sudah di depan kafe tempat aku janjian dengan Alan di surat, aku terdiam sejenak berusaha mengontrol debaran jantungku lalu mengangguk mantap.
"Pake ini" Katanya lagi sambil langsung memasangkan sebuah Handset di kedua telingaku dan menutupinya dengan rambutku yang tergerai, lalu ia melilitkan kabel handset ke belakang di dalam sweter yang aku pakai.
"Ini untuk apa?" Tanyaku saat Lesa menancapkan ujung kabel handset ke hpku, lalu meletakkan hp itu kedalam saku sweter yang aku kenakan.
"Ya buat berjaga - jaga, dan biar kita bisa mendengar obrolan loe sama Alan Ok!" Katanya sambil menautkan ibu jari dan telunjuknya membentuk huruf O, aku hanya bisa mengangguk - angguk saja.
"Loe kenapa Ren?" Tanya Lesa membuatku memandang Rena yang berada di jok belakang,
"Eh gue pengen ngomong sesuatu" Katanya berhenti lalu memandangku dan Lesa bergantian "Tapi gue lupa mau ngomong apa!" Lanjutnya membuat Lesa dan aku hanya mendengus.
"Ya udah nggak usah dipikirin ntar kalau loe ingat baru kasih tau kita, Bulan sana keluar" Kata Lesa menyuruhku keluar, aku dengan sedikit gemetaran membuka pintu mobil lalu memandang kedua sahabatku yang sedang berada di dalam mobil tanpa berniat keluar.
"SEMANGAT" Ucap mereka bersamaan membuatku tersenyum mengangguk mantap lalu berbalik melangkah menuju pintu kafe.
Saat di depan pintu kafe aku menarik napas sebelum membukanya tidak lupa pula aku membaca doa agar bisa dilancarkan urusan saat ini. Setelah masuk nuansa dinginnya AC menyentuh kulitku membuat aku sedikit mengerut karenanya
"Untung aku pake sweter" Kataku sambil berjalan menuju meja yang berada di tengah dan tidak memilih di dekat jendela, untuk menjauhi terpaan langsung dari AC. Aku tidak bisa tahan dengan terpaan AC yang secara langsung menerpaku.
Aku duduk dengan sedikit gelisah karena jantungku tidak juga berjalan dengan normal setelah memasuki kafe ini. Malah semakin parah dari debaran sebelumnya, Seorang pelayan membawakan buku menu dan aku langsung minta es krim coklat tanpa memesan makanan, setelah mencatat pesananku si pelayan pergi meninggalkan aku sendirian yang merasa berdebar - debar.
Seiring waktu berjalan semakin membuatku berdebar - debar tidak menentu, karena jam sudah hampir menunjukkan waktu ketemuanku dengan Alan. Minuman yang aku pesan tidak membantu untuk menenangkan debaran jantungku karena sudah kosong beberapa menit yang lalu
Drrrrt ...........drrrrt..........drrrrrt
Bunyi getar handphone membuatku merogoh saku sweter namun sebelum aku menyentuh tombol hijau pada ponsel sudah terdengar suara gemerisik dari seberang.
"Eh Lan, gue udah ngeliat mobil Alan nih" Kata suara seberang yang ku kenal suara Lesa membuatku semakin berdebar - debar tidak karuan.
"Se..... se.....serius loe? Gue mau ngumpet dimana ini?" Tanyaku sambil panik melihat kekanan dan kiri lalu melihat kearah bawah meja.
"Ya elah ngapain ngumpet? Bukannya loe mau ngasih tau Alan tentang semuanya" Kata Lesa membuatku menepuk jidatku.
"Owh iya ya gue lupa!" Kataku sambil memandang sekitar, semua orang melihatku dengan aneh.
Mungkin mereka mengira aku sedang ngomong sendiri karena aku tidak menunjukkan keberadaan handphoneku, karena hal itu aku sengaja menyampirkan rambutku kebelakang telinga supaya mereka bisa melihat sebuah handset yang sedang terselip di telingaku.
Setelah melihat handset yang aku pakai semua orang tidak melihatku dengan aneh lagi, itu membuatku menghembuskan napas, namun hanya beberapa detik aku kembali berdebar - debar saat melihat Alan yang membuka pintu dadaku kembali bergetar tak menentu. Aku sibuk dengan mencari - cari tempat mana yang aman untuk bersembunyi, dia semakin mendekat kearahku membuat aku semakin kesusahan untuk bernapas.
"Bagaimana ini? Dia ganteng banget" Gumamku dalam hati sambil melihat setiap gerakannya saat berjalan ke arahku.
Kau tau bagaikan waktu diputar perlahan saat engkau sedang terpesona akan penampilan seseorang, begitulah saat ini yang kurasakan saat dia tersenyum kearahku sambil membuka topinya.
Seakan kami berada dipadang rumput hijau dengan tebaran bunga - bunga di sekitarnya, bahkan aku tidak lagi mendengar alunan musik kafe yang sedang di putar, suara berisik di sekitar, dan suara cempereng Lesa yang ada ditelepon. Itu membuatku menahan napas disetiap langkahnya.
Tinggal dua langkah lagi dia sampai di mejaku, membuatku tersenyum dan memundurkan kursiku bersiap untuk menyambutnya, namun detik berikutnya aku hanya bisa terpaku dengan posisi setengah berdiri.
"Sudah lama menunggunya?" Suara itu harusnya terdengar jelas di telingaku karena dia berdiri di hadapanku, namun suara itu terdengar sangat jauh di belakang.
"Nggak terlalu lama" Kalimat itu harusnya keluar dari mulutku namun mulutku malah menutup tidak membuka, otakku melambat tidak bisa berpikir apa - apa dengan gerakan lambat aku mencoba menengok sumber percakapan tersebut.
Disana, di tempat duduk tepat dibelakangku sepasang remaja sedang bergandengan tangan dengan senyum malu yang bisa ku lihat dari bibir sang gadis yang ku yakini bernama Cantika, dan disebelahnya duduk seorang pemuda yang beberapa saat tadi menghipnotisku dan membuatku tidak bisa merasakan apa - apa selain pesonanya.
"A.............Alan dan Cantika" Kataku bergetar, dan "Uuuuuuuuuuuwwwwwwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa Lesaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa" Teriakku di telpon, dan bisa ku pastikan bahwa Lesa menjauhkan handphone dari telinganya.
"I...........itu yang tadi aku mau sampaikan Lan" Terdengar suara yang berbeda dari yang sebelumnya dan kali ini ku yakini ini suara Rena.
"Aa....paa......Mak......sud. loe, hiks hiks" Tanyaku disela menahan isakan dan sakit hati yang kini kurasakan sambil mencak - mencakkan kakiku.
"Tadi aku mau ngomong, kalau kemaren aku melihat Alan nembak Cantika. Tapi karena lupa aku jadi nggak bilang" Kata Rena dengan nada cepat namun aku bisa mendengar dengan jelas setiap katanya yang membuatku semakin ingin menangis dan menjambak rambutnya.
"Uuuuuuuuuuuuuuuuu..........waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...............hiks.................................. hiks........hiks...........he.........he,,,,he......." Tangisku kembali pecah setelah mendengarnya "Ken....apa........hiks....hiks nggak bi.........lang.......hiks......dari tadi? Sreeet" Tanyaku lagi sambil mengusap ingus dengan tisu disela tangisku
"Ya namanya lupa, maafin aku ya!" Kata Rena sedih, tau kah kamu aku jauh lebih sedih tau!
"Hatiku hancur berkeping - keping, ken........apa dia nggak tau ka........lau aku menyu.......kainya sela.......ma tiga tahun hiks ........hiks ......hiks" Kataku lagi sambil mengusap hidung dengan tisu. Aku mendengar suara gemersek dari seberang sana.
"Ya udah lah dah terlanjur ini, mending kamu keluar dari kafe deh. nggak malu apa dilihatin semua pengunjug situ?" Tanya Rena kembali.
"Palingan dia lagi ngumpet di kolong meja, karena takut ketahuan Alan" Terdengar suara lain diseberang selain suara Rena dan aku yakin ini suara Lesa sih rese itu.
"Ih nih anak beneran rese! Nggak tau apa kalau aku sedang sedih habis patah hati"Gumamku sambil mengangkat kepala.
Duuug AUWW
Bunyi sesuatu kejedut dan pekikanku membuatku tersadar bahwa yang dikatakan Lesa memang benar, kalau aku sedang ada di bawah meja.
"Tuh kan gue bilang apa, kalau Bulan sedang di kolong meja" Kata Lesa dari suaranya aku bisa tau kalau Lesa sedangkan menahan tawanya.
"Diam loe, gue nggak mau keluar sebelum Alan keluar dari kafe ini. Ngerti" Bentakku sewot dan terdengarlah suara tawa yang membahana dari seberang telpon.
"Ih beneran rese kan tuh si Lesa, awas aja ya nanti di luar" Gumamku dalam hati sambil memajukan bibirku.
"Alan udah keluar dari tadi Lan, mending kamu keluar dari kolong deh" Kata Rena lembut membuatku merasa tenang, sebelum keluar aku mengambil tisu dengan merogohkan tangan keatas dan berhasil mendapatkannya lalu mengusap wajahku dengan tisu itu.
Setelah yakin wajahku bisa normal aku pun keluar dari kolong meja dan mendapati semua mata tertuju kepadaku, dengan tersenyum minta maaf aku berdiri dan hendak berjalan keluar kafe saat seseorang memanggil namaku.
"Moon" Panggilnya, sesaat aku terpaku dengan nama panggilanku. Nama itu adalah nama inisial yang aku tulis di surat cintaku yang terakhir.
Aku menengok kebelakang dan melihat Gio sedang berdiri disamping meja yang ku tempati. Aku mengernyit heran sejak kapan Gio ada disini.
"Nama Loe bukannya Bulan?" Tanyanya membuatku tersadar lalu aku mengangguk pelan sebagai balasannya "Ach tapi Bulan kan bahasa inggrisnya Moon" Perkataannya membuatku tidak mengerti bagaimana dia tau tentang Moon?
"Jadi benar kamu yang selalu mengirimkan aku surat selama tiga tahun ini?" Tanyanya lagi kali ini membuatku menatapnya bingung sambil membulatkan mata tanpa berkedip.
"Eh, mengirimkan surat?" Tanyaku mengulangi pertanyaannya, dan dia hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Ya ini semua loe yang menulis kan?" Katanya sambil menyodorkan beberapa amplop yang aku kenal sebagai amplop surat cintaku untuk Alan.
"Ke.........napa surat ini ada sama loe?" Tanyaku heran, perasaan ini surat untuk Alan meski tidak tertulis secara jelas untuk Alan, tapi aku dengan yakin kalau aku menaruh surat ini dengan diam - diam didepan rumah yang dimasuki Alan saat aku mengikutinya.
"Ya karena seseorang telah menaruh surat ini di depan rumah gue, dan gue yakin itu pasti Loe" Katanya sambil tersenyum membuatku menatapnya semakin bingung.
"Dan ini juga buku naskah cerpen yang gue baca, yang 3 tahun lalu Alan pinjam dari temannya. Gue pikir buku ini juga punya Loe, karena tulisannya sama" Lanjutnya sambil menyodorkan sebuah buku milikku tiga tahun lalu.
"Jadi selama ini, Gio yang membaca cerpenku? Bukan Alan? Jadi itu bukan rumah Alan? Dan aku salah naruh surat cintaku di alamat yang salah?" Berbagai pertanyaan muncul dibenakku dan terjawab saat aku melihat Gio tersenyum sambil mengangguk.
Senyum yang begitu manis yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, senyum yang mungkin akan ia perlihatkan hanya kepadaku,
"Duuh ternyata dia memang lebih manis dari pada Alan, Tidak ada Alan, Gio pun nggak apa - apa" Kata hatiku sambil terus memandangnya, dan menghiraukan suara berisik dari telepon yang kuyakini berasal dari si rese Lesa.
Endiiing.............
0 comments:
Post a Comment