Tuesday 23 December 2014


Monday 13 January 2014

"Cerpen cinderella dan beauty & the beast Part 2"


Hai - hai Cinderella dan Beuaty & the Beast nya datang lagi nih,

Ya berharap aja pada suka ya ma cerita ini :-)











"APA" Teriakku sambil berdiri dan melihat Tante Irma serta Klara yang sedang menutup telinga secara bergantian.

"Aduh ampun deh, bisa tenang nggak sih, kamu bikin kuping saya budek tau nggak!" Bentak Tante Irma dengan mata melotot.

"Ya nih, nggak usah teriak segitunya kali" Kata Klara membuatku menatap mereka tak percaya.

"Kalian bilang aku harus tenang?" Kataku masih tak percaya dengan kata - kata santai mereka," Bagaimana aku bisa tenang kalau aku mau dijodohin sama kakek - kakek"

"Bukan mau, tapi udah dijodohin! dan kamu nggak bisa menolak Cindy. Ayo duduk dengan tenang" Kata Tante Irma yang membuatku semakin geram.

"Tante apa -apaan sih, masa tante tega jodohin aku sama orang yang lebih tua 30 tahun dari ku, aku ini kan anak tante juga" Kataku setelah duduk kembali dengan nada sedih.

"Anak Tiri"Koreksi Tante Irma santai dan lebih memilih memandangi jeruk yang sedang dibersihkan dari memandang wajah memelasku.

"Iya, tapi harusnya aku masih punya hak untuk menolak donk tante!" Kataku memelas, namun ditanggepi gelengan kepala Tante Irma.

"Sayangnya tidak Cindy, undangan sudah tersebar dan satu minggu lagi kamu akan bertunangan"
"APA" Ini kedua kalinya aku berteriak sambil berdiri dengan mata yang melotot pula,

"Aduhh Cindy, kamu bener - bener yah! Kuping saya sakit ini" Kata Tante Irma sambil mengelus - elus telinganya, begitu juga dengan Klara. Kenapa sih mereka? biasanya aku yang seperti itu tapi kenapa mereka yang kesakitan mendengar teriakan yang hanya baru dua kali, catet baru dua kali karena sebelumnya aku tak pernah berteriak seperti ini, sedangkan mereka selalu saja berteriak - teriak jika berbicara denganku, telinga siapa yang seharusnya sakit.

"Duduk! tante belum selesai bicara" Perintah tegas Tante Irma membuat ku terpaksa duduk dan menaruh kedua tangan di meja makan.

"Tante nggak bisa gitu donk, aku masih punya hak untuk menolak itu" Protesku masih berusaha tak mau kalah dengan keputusan nenek lampir ini, meski kurasa sia - sia karena terlihat Tante Irma menggelengkan kepalanya.

"No.....no........no" Kata tante Irma kalem sambil menggoyang - goyangkan jari telunjuknya, "Tante kan udah bilang, kamu nggak bisa menolak, dan jangan coba - coba untuk kabur. Kalau kamu sampai kabur jangan harap kamu bisa balik lagi ke rumah ini" Kata Tante Irma penuh nada peringatan, seakan tau apa yang dikatakannya adalah apa yang aku pikirkan saat ini.

"Emang kenapa aku nggak boleh kesini lagi, ini kan rumah papaku jadi Tante nggak berhak ngelarang aku untuk ke sini" Kataku berani sambil mengangkat dagu, bodo amat deh dengan hukuman yang mungkin akan aku dapatkan karena berani dengan Tante Irma, sekarang ini aku sudah sangat kesal sama Tante Irma. Toh udah dari tadi aku berani sama dia.

"Hei sadar donk, bukannya rumah ini sudah dialihkan menjadi nama Mamaku, mama punya haklah untuk melarang kamu atau bahkan mengusir kamu saat ini juga!" Kata Klara sambil mengikuti gayaku, ini anak bener - bener seorang peniru, tak bisakah dia punya gayanya sendiri.
Aku benar - benar lupa bahwa saat pembacaan warisan, rumah ini sudah di ganti atas nama Tante Irma, itu cukup membuatku merasa benar - benar kecewa.

"Ya Allah apa yang harus aku perbuat, aku nggak mau menikah sama bapak - bapak tua itu. Tapi aku juga nggak mau pergi dari rumah ini" Bisikku dalam hati.

Disaat genting ini aku hanya bisa menunduk tanpa berani melihat ke arah Tante Irma dan Klara yang kini sedang tersenyum menjengkelkan.

"Udah lah Cindy, kamu terima aja nasib kamu. Toh menikah dengan pria kaya raya itu adalah hal yang banyak orang impikan,. Aku bahkan sangat iri denganmu" Kata Klara dengan nada pilu, namun nada pilu yang teramat sangat di buat - buat, membuatku mendongak dan menatap tajam kearahnya.

"Kalau gitu kamu aja yang nggantiin aku" Gumamku tanpa sadar, dan mendapat tatapan tajam dari Klara.

"Sudah Tante bilang bahwa orang itu telah memilih kamu, bukan Klara. Dan ini adalah undangan pertunangan kalian" Kata Tante Irma sambil melemparku sebuah undangan dengan warna krem dan bertuliskan

RAKA ADIQIA HERMAWAN
&
CINDY ARIELLA ANASTASYA

Namaku dan nama orang yang bertunangan denganku, membuatku menatap Tante Irma dengan perasaan campur aduk, merasa kecewa, marah dan lebih ingin menangis karena ulah tante Irma yang kini menyiksaku tidak hanya secara lahir namun batin juga.

"Mama, sebenarnya aku sangat iri dengan Cindy, tapi aku akan terpaksa mengikhlaskan ini untuk kebahagiaan kakakku tersayang" Kata Klara sambil menatapku dengan wajah prihatin, tapi tersenyum penuh kemenangan.

Kata - katanya sungguh membuatku muak, dia bilang dia terpaksa ikhlas tidak bertunangan dengan pangeran kaya tapi wajahnya sungguh melihatkan betapa senangnya dia, melihatku tekanan batin karena harus menikah dengan orang yang lebih pantas menjadi ayahku. Jangan bilang kalau dugaan awalku benar, kalau Klara sudah tau orang yang akan dijodohkan denganku, sikap awalnya tadi hanya sebuah akting belaka. Aku bodoh karena terkecoh oleh ucapannya.

Darahku berdesir ingin sekali menjambak rambutnya, mencolok matanya atau bahkan mencincangnya hidup - hidup. Andai saja nggak ada Tante Irma disini mungkin aku sudah melakukan hal yang saat ini aku pikirkan, kedua tanganku terkepal dan menatapnya dengan tatapan membunuh yang bisa aku lakukan, meski aku tak yakin apa dia takut denganku atau tidak.

"Sudahlah sayang, nggak usah iri sama Cindy, Mama yakin di luar sana masih banyak pangeran kaya raya yang akan memilihmu" Oh Good, sekarang aku sedang menonton drama secara live yang diperankan oleh Tante Irma dan Klara.Bagaimana mungkin, tante Irma mengatakan kalimat itu dengan nada sedih namun raut wajah yang sangat bahagia.

"Dan sama kamu Cindy, tante sangat bahagia. Jadi mulai sekarang kamu nggak perlu melakukan berbagai pekerjaan, cukup kamu merawat diri kamu sendiri agar terlihat cantik di pesta pertunanganmu" Kata Tante Irma sambil tersenyum lembut. Kalau aku harus memilih, aku lebih suka mendengar kata - kata kasar dari Tante Irma dari pada harus kata lembut yang seperti ini.

"Kalau aku boleh memilih, aku lebih suka melakukan pekerjaan seperti biasa dari pada harus melakukan perawatan hanya untuk pesta sialan itu" Kataku sambil berdiri dan pergi dari ruang makan tanpa mempedulikan Tante Irma dan juga Klara.

****

"HUUUWAAAA, hidup dan hatiku hancur berkeping - keping. Huwwaaa! mereka benar - benar tega" Kataku disela tangisan sambil mengambil tisu yang ku buat untuk menyeka ingusku.

"Apa mereka nggak puas hanya dengan menyiksa lahirku saja? Sekarang menyiksaku dengan batin juga huwaaa" Kataku sambil menengok ke seseorang yang kini berada di sebelahku

Maman bukannya ikut sedih, malah menatapku seakan sedang menahan tawa yang membuatku menatapnya dengan tatapan tajam, meski dipenuhi air mata. Apa -apaan dia? Aku sedang sedih bukannya ikut sedih, tapi malah berekpresi seperti orang ingin ketawa.

"Kenapa? Nggak pernah melihat orang nangis? Nggak sedih gitu, tau aku mau tunangan sama kakek - kakek?" Sungutku sebal dan orang yang ada di sebelahku ini hanya terkekeh pelan, membuatku makin kesal dan mengusap air mata dengan kasar.

"Bukan begitu Nona! Saya juga prihatin sama masalah Nona, tapi saya nggak bisa apa - apa juga kan?? Dan terus tangisan Nona Cindy terlalu Alay, biasanya kan yang alay Nona Klara! Baru kali ini saya melihat nona menjadi alay dan itu sangat lucu!" Katanya tanpa harus menyembunyikan lagi tawa yang sedari tadi dia tahan.

Maman benar sih, dia memang nggak bisa berbuat apa - apa, bahkan aku saja nggak bisa berbuat apa - apa untuk menghindarinya, tapi senggaknya dia kan bisa menghiburku tanpa harus tersenyum seakan sedang terhibur. Aku sedang menangis ini, bukan sedang menghibur seseorang. Dan apa yang tadi dia bilang? Aku alay? apa duduk dilantai, mencak - mencak kan kaki dan menangis histeris apa termasuk perbuatan alay ya? memikirkan hal itu aku langsung bangkit dan duduk di kursi tempat Maman duduk.

Aku hanya menatapnya makin tajam sambil mengusap air mataku lagi, entah kenapa tangisku langsung berhenti, tidak sehisteris tadi dan kini aku sudah sedikit tenang. Entah kenapa Maman bisa menghiburku dengan caranya sendiri.

"Minum dulu nona biar tambah tenang" Katanya sambil menyodorkan segelas teh anget yang tadi sempat ia bikin, aku mengambilnya dan meminum teh itu hingga setengah gelas, menangis histeris membuatku kehausan.

"Sudah tenang?" Tanyanya saat aku mengembalikan gelas kepadanya, aku hanya mengangguk lalu mengusap bibirku.

"Tapi bagaimana caranya aku untuk lari dari masalah ini? Aku nggak mau menikah dengan kakek - kakek itu"

"Bapak, dia baru berumur 52 tahun, Nona" Potong Maman dengan nada sedikit tersinggung, namun aku hiraukan.

"Tetap saja, dia 30 tahun lebih tua dari aku! Tante Irma yang seharusnya menikah dengan dia bukan aku" Kataku melanjutkan curhatan yang entah sudah keberapa kali aku ceritakan kepada Maman.

"Tapi dia udah memilih nona, dan lagi pula kalian baru mau bertunangan bukan menikah" Sahut Maman

"Iya aku tau itu, makanya aku frustasi. Kenapa sih harus aku yang dipilihnya nggak tante Irma aja" Kataku, namun beberapa detik kemudian aku mendapatkan sebuah semangat.

"Kamu bilang apa tadi?" Tanyaku pada Maman yang membuatnya bingung dan menatapku dengan dahi berkerut.

"Ach ya kamu benar, kalau aku baru mau bertunangan dengannya belum menikah. Itu artinya aku bukan sepenuhnya miliknya kan ya?" Kataku dengan mata berbinar "Dan sebelum janur kuning melengkung, masih ada kesempatan untuk membuatnya batal.
Hem mungkin aku akan bertingkah untuk membuatnya malu" Kataku dengan membayangkan aku akan melakukan apa saja agar pertunangan ini dibatalkan.

"Tidak mungkin, dia mau melepaskan Nona. Dan pernikahan Nona akan dilaksanakan tiga bulan lagi" Kalimat sanggahan Maman membuatku menatapnya curiga.

"Bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu?" Tanyaku menatapnya dengan mata dipicingkan, "Apa kamu tau sesuatu tentang ini?"

Maman terlihat salah tingkah dan dia menunduk membuatku semakin mencurigainya.
"Cuma asal nebak nona" Jawabnya namun aku masih menatapnya dengan curiga "Siapa tau aja kan saat dia melihat Nona secara langsung dia justru akan mempercepat pernikahannya. Bahkan mungkin satu minggu lagi"

"Hah, bagaimana mungkin seperti itu? Tapi bisa juga sih, kalau dia adalah bapak - bapak mesum yang kebenget. Haduh gimana ini?" Kataku dengan wajah panik lalu menoleh kearah Maman yang kini hanya menaikkan bahu saja.

Aku menatap Maman lekat - lekat sambil berpikir untuk mencari solusi masalahku. "Seandainya saja aku kabur aku mau kemana? Aku nggak punya saudara di kota ini. Apakah aku dijinin kabur ke rumah keluarganya Maman ya?" Pikirku dalam hati.

"Maman, aku boleh kabur ke rumah kamu nggak? Tanyaku

"HAH" Pekik Maman kaget mendengar pertanyaanku.

"Karena menurut aku satu - satunya cara untuk menghindar dari masalah ini ya dengan cara kabur dari rumah sebelum hari H, meski dengan resiko tidak akan bisa kembali kesini " Kataku cepat saat melihatnya kekagetannya.

"Mana bisa seperti itu? Kalau Non kabur ke rumah saya, bisa - bisa dikira Non ada main sama saya. Karena di keluarga saya dilarang membawa seorang perempuan kecuali Istri atau setidaknya Calon" Jawabnya dengan nada bingung.

"Kalau gitu ayo kita menikah" Celetukku

"HAH" Tanggapannya mendengar omongonku dengan mulut menganga.

"Atau nggak kita tunangan aja dulu, aku lebih rela tunangan sama kamu dari pada sama bapak - bapak aneh yang aku sendiri tidak tau mukanya seperti apa"

"HAH" Lagi - lagi kata dan ekspresi yang sama yang aku liat dari Maman, membuatku memutar mata kesal.

Sebenarnya aku juga nggak pernah bermimpi akan berbicara seperti ini sama Maman, tapi aku tidak ada pilihan lain dan aku juga bersungguh - sungguh dalam hal ini, karena aku merasa nyaman dengan Maman dan selama ini laki - laki yang dekat denganku hanya Maman seorang.

Menurutku secara fisik dia lumayan tampan, hanya saja tubuh gendutnya yang membuat dia terlihat jelek. Meski tubuh Maman gendut, tapi anehnya pipinya nggak ada tembem - tembemnya, bahkan lebih tembeman aku dari pada dia, dan juga tubuh gendutnya itu aneh, seperti tidak wajar.

"Jawab!! Bukan Hah, Hah mulu” Bentakku “Gimana mau nggak?" Kataku menuntut kepastian saat dia hanya membuka mulutnya dan seperti tidak ada kata yang ingin keluar dari mulutnya. Mungkin kaget dengan ajakanku yang tiba - tiba, eh salah maksudku lamaranku yang tiba - tiba.

"Ach, eh.........hem gimana ya?" Katanya saat sadar sambil mengusap tengkuknya salah tingkah.

"Apa jangan - jangan kamu sudah mempunyai calon istri ya?" Tebakku dengan harap - harap cemas,

Maman kini menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa aku baca dan dia mengangguk perlahan membuatku menjatuhkan kepala ke meja merasa lemas karena penolakannya.

"Bukan Calon istri sih Non, tapi calon tunangan bentar lagi saya mau tunangan" Katanya yang membuatku semakin merasa lemas,

"Owh gitu ya, sama siapa?" Tanyaku sambil memandangnya tanpa mengubah posisiku

"Sama ceweklah Non, masa iya sama cowok" Katanya yang membuatku terdiam dan tersenyum kecil. Entah kenapa mendengar dia akan bertunangan membuat hatiku meringis.

"Berarti nggak ada cara untuk menghindar dari masalah ini donk ya" Gumamku untuk diriku sendiri sambil menelengkupkan wajahku "Dan itu artinya 7 hari kedepan aku harus menghadapi nasibku"


To Be Continue...........


Saya pikir dua part cukup ternyata tidak…………….

Monday 6 January 2014

"Cerpen Cinderella dan Beauty & The beast"




Masih tentang sekitar dongeng, hah tiba - tiba aja ide ini muncul. Jadi aku tulis langsung ach!!









"Cerpen Cinderella dan Beauty & The beast"

Kring......Kring......Kring, aku mengambil telpon yang berada di saku clemekku, tanpa susah payah melihat siapa yang menelpon aku letakkan telpon itu agak jauh dari jangkaukan telinga dan memencet tombol penjawabnya, Satu detik.......... dua detik..........tiga detik ku itung dalam hati,

"CIIIIIIIIIIIIINDEEEEEEEEEEEEEEEEE" Sebuah teriakan dari telpon tersebut terdengar begitu nyaring di telingaku meski benda itu sudah jauh dari jangkauan telinga.

"DIMANA SEPATUKU" Bentakkan dari seberang sana terdengar sebelum aku menjawab panggilan yang pertamanya.

"Di lemari sepatu mu Klara" Kataku dengan suara tak kalah keras agar bisa terdengar olehnya.

"Cepat ambilkan" Perintahnya seperti biasa, 

"Aduh Klara ambil sendiri aku lagi memasak sarapan untuk kalian ini" Balasku dengan tangan bersiap - siap memasukkan ikan ke dalam penggorengan.

"Owh owh owh! Kau udah berani tak mau mentaati perintahku. Kau mau aku menyuruh mami untuk berhenti membiayaimu kuliah, Hah!"Katanya mengancam, aku hanya bisa menghela napas pasrah dan mengecilkan api, mencuci tangan lalu bersiap - siap ke kamarnya di lantai dua.

"Ya baik aku kesana" Jawabku akhirnya dengan lesu, tanpa bicara apapun lagi, Klara memutuskan sambungan teleponnya.

Begitulah kebiasaan Klara Rosita saudara tiriku yang teramat menyebalkan yang akan menelponku hanya untuk menyuruhku ini dan itu, dan yang pasti jika aku menolak perintahnya bisa dipastikan aku akan mendapatkan tugas yang lebih berat, atau seperti ancamannya yaitu menyuruh sang mama untuk berhenti membiayaiku kuliah, mau tak mau aku pun menuruti apapun perintahnya.

Disini lah aku berada di kamar mewah seorang Klara yang berada di lantai dua, ruangan yang terbesar dari ruangan lain di rumahku ini, jangan tanya kamarku dimana? Kalian pasti bisa menebak dimana letak kamar untuk seseorang sepertiku ini. Yappp! Benar tebakan kalian, kamarku hanya sebuah gudang kecil dekat dengan dapur dan toilet belakang sangat berbeda jauh dari kamar Klara yang mewah ini. Di ruangan ini terlalu banyak almari hanya untuk aksesoris Klara, ada almari sepatu, almari baju, almari tas dan juga almari aksesoris dan kini aku sedang di depan almari sepatu Klara untuk mencarikannya sepasang sepatu yang ingin ia kenakan.

"Cepetan! nyari sepatu yang pas buat pakean ini aja lama!" Katanya Sarkatik, aku hanya memutar bola mata merasa bosan oleh ocehannya.

"Aku kan bukan styles Klara, jadi mana aku tau sepatu mana yang cocok untuk bajumu itu" Sungutku sebal sambil mengeluarkan sebuah sepatu yang entah sudah ke berapa hanya untuk membuatnya keliatan mecing untuk dikenakan dengan baju terusan biru mudanya.

"No............no...........no" Katanya alay, "Kamu memang bukan styles, tapi kamu adalah asistenku jadi harus ngerti seleraku donk!Jangan cuma asal ngambilin aja!" Mana aku ngerti seleranya orang dia nggak pernah bilang mau pake sepatu yang mana, dia hanya menyuruhku mengambilkan sepatu di rak sepatu yang tak jauh dari jangkauannya, tanpa menyebutkan merk dan warna sepatu yang ingin ia gunakan. "Dan satu lagi, kamu harus dibiasakan memanggilku dengan princess Klara mengerti Cinde" Lanjutnya sambil tersenyum pengertian namun sangat menyebalkan dimataku. Aku hanya memutar bola sekali lagi, merasa muak dan ingin muntah mendengar nama panggilannya, "Ini tidak mecing ambilin lagi" Dan dia seenaknya melempar sepatu yang sudah ku ambil tapi tak mecing untuk bajunya membuat kamarnya berantakan dan itu juga pekerjaanku untuk merapikannya, dasar orang manja.

"Ayo cepetan ambilin sepatunya dan pasangkan di kakiku ini" Katanya memerintah, dia hanya duduk manis sambil memainkan telpon terbaru miliknya. Sedangkan aku sibuk kembali mencari sepatu apa yang kira - kira pas untuknya.

Aku menemukan sepasang sepatu yang menurutku pas dengan baju yang saat ini Klara pakai, sepasang sepatu sederhana tapi cantik dengan warna biru lembut membuatku ingin memakainya. Saat sedang membayangkan aku memakai sepatu yang ada ditanganku, telpon yang ada disaku clemekku berbunyi. Tanpa melihat namanya aku pun mengangkat telpon itu.

"Ha......

"UUUUPIIIIIK" Kata sapanku terpotong dengan sebuah teriakan yang membuatku langsung menjauhkan telpon itu dari jangkauan telinga, sedangkan Klara menutup telinganya dengan kesal.

"Kamu dimana? Ini masakanmu gosong, cepat kemari" Perintah tegas suara diseberang membuatku tersadar bahwa aku meninggalkan masakanku. Dengan segera aku berlari keluar kamar Klara dan menuruni tangga ke arah dapur, tanpa mempedulikan sepatu serta Klara yang ngedumel marah.

"Ya ampun" Kataku panik saat memasuki area dapur dan melihat ikan gorengku hitam legam di penggorengan dengan asap yang mengepul.

"Ikannya gosong tante" Kataku sedih karena sudah susah payah membersihkan dan meracik bumbu untuk masak ikan, namun ikan itu akhirnya gosong.

"Tadi kan saya sudah bilang, kenapa kamu tinggal - tinggal! Hah!"Kata Tante Irma mamanya Klara, Mamaku juga. Namun hanya mama tiri yang tidak punya belas kasih sama sekali.

"Tadi aku ke kamar Klara,Terus gimana tan?" Tanyaku bingung dan mendapat pelototan olehnya.

"Saya nggak mau tau, kamu harus goreng ikan itu lagi dalam waktu" Kalimatnya berhenti hanya untuk melihat jam tangannya yang terbaru.

"5 menit harus bisa saya makan untuk sarapan, ngerti kamu!" Kalimat penutup yang sukses membuatku menganga dalam bingung, bagaiman bisa dalam waktu 5 menit ikan itu harus siap untuk dimakan, sedangkan ikan yang baru masih utuh di almari es beserta kotorannya, yang harus aku bersihkan terlebih dahulu. sedangkan dia hanya melenggang pergi dan duduk manis di depan tv sambil membaca koran dan minum teh yang sudah aku siapkan dengan santainya. 

"Kenapa bengong? Waktunya tinggal 4 Menit loh" Katanya dengan nada santai tapi sarat ancaman dibalik senyum yang menyebalkan. Benar - benar ibu tiri yang kejam, dan ngomong - ngomong adakah ibu tiri yang tidak kejam? Jawabannya aku tidak tau.

Dengan kalang kabut aku bersiap menggoreng ikan, tanpa membersihkan kotorannya terlebih dahulu, tidak peduli dengan kebersihan sekarang ini aku sedang diburu waktu, dengan tergesa - gesa aku mengambil ikan dari almari es dan merendamnya dalam air agar cepat mencair lalu mencelupkannya kedalam bumbu yang masih tersisa lalu memasukkan ikan itu ke dalam penggorengan. 

Saat sedang menyiapkan piring untuk ikan gorengku , telponku berbunyi lagi dan seperti biasa tanpa melihat nama orang yang menelpon, langsung memencet tombol penjawab.

"CIIIINDEEE, CEPETAN KEMARI" Dan teriakan itu pun terdengar kembali membuatku hampir jantungan dan hampir memasukkan telpon ke dalam penggorengan

"Ada apa sih Klara, aku sedang menggoreng ikan ini" Kataku pelan agar tidak terdengar oleh nenek sihir yang sedang menonton infotement, yang kini melirikku dengan sangat menyebalkan.

"ADA APA KLARA, ADA APA KLARA. Sudah kubilang panggil aku princes Klara, kamu tuli ya!" Bentaknya membuat aku geleng - geleng kepala.

"Iya ada apa princes Klara?"Jawabku dengan nada penuh penekanan sambil membalikkan ikan gorengku.

"Nah gitu donk, cepet kemari! Bantu aku merapikan rambutku!" Perintahnya tegas

"Ta..........

"Tidak ada tapi - tapian, setengah menit kau harus sampai di kamarku!!!!!!" Perintahnya sambil menutup telpon tanpa mau menerima penjelasanku terleih dulu, dengan segera aku mematikan kompor dan mengangkat ikan goreng lalu meletakkannya di piring yang sudah aku siapkan. Dengan cepat aku berlari kearah kamar Klara tanpa berniat cuci tangan terlebih dahulu. 

Begitulah kesibukkan di pagi hari ku, berlari - larian naik turun tangga hanya untuk menuruti perintah orang yang sangat menyebalkan. Mereka seperti bersekongkol untuk membuatku repot dipagi hari, dengan menyuruhku secara bersamaan. 

Memang benar nyanyian ibu tiri hanya cinta kepada ayahnya saja! Dulu saat papa ada mereka sangat baik padaku dan menyanyiku dengan sepenuh hati, aku yang tidak pernah merasakan kasih sayang ibu karena beliau telah meninggal saat melahirkanku mendapat kasih sayang ibu dari ante Irma. Namun semuanya berubah saat ayah meninggal dalam kecelakaan 10 tahun yang lalu, mereka mulai memperlakukanku seperti seorang pembantu sedangkan semua pembantu di suruh pulang oleh tante Irma.

Membuatku kalang kabut memenuhi perintah mereka, hingga saat ini aku terbiasa dengan ulah mereka dan sesekali memberontak kecil dan mendapat hukuman yang jauh dari kata kecil karena ulahku.

Setelah selesai membantu Klara merapikan rambutnya aku turun dan bersiap menghidangkan ikan goreng untuk sarapan mereka berdua, sedangkan aku seperti biasa hanya mendapatkan sisa mereka.

Semua sudah beres tinggal menyuruh tante Irma untuk sarapan dan menyuruh si cewek cempreng turun, Tante Irma langsung menempati tempat duduk yang dulu di duduki papa saat masih hidup hingga menunjukkan bahwa dia lah yang berkuasa di rumah ini. Aku pun menaiki tangga menuju kamar Klara namun saat berada di tengah - tengah tangga, aku berhenti karena mendengar teriakan.

"CIIIIIIIIIIIINDDDDDDDDEEEEEEEEEEEEEEEEE, UUUUUUUUUUPPPPIIIIIIIIKKKKKK" Yang membuatku menutup telinga sambil sempoyongan seakan rumah ini bergetar karena terlalu kencang teriakan mereka. 

"RAMBUUTKU KENAPA BAU IKAN!!" Itu teriakan dari Klara yang pertama ku dengar.

"KENAPA IKANNYA MASIH MENTAH, KAMU KIRA SAYA KUCING APA!!" Itu teriakan kedua yang ku dengar dari tante Irma.

Klara keluar dari kamar dengan raut merah menahan marah, sedangkan tante Irma tak kalah merah yang kini sedang menatapku dengan tajam. Aku hanya nyengir sambil menggigit bibir.

"Maafkan aku, sa.......lah ka..lian...... sendiri. Menyuruhku ini itu diwaktu yang bersamaan"Kataku membela diri sambil menatap mereka dengan waspada.

"JADI KAMU MENYALAHKAN KAMI??" Teriak mereka bersamaan membuatku menutup telingaku entah untuk ke berapa kali di pagi hari ini.




****




Beginilah nasib anak tiri dilarang makan sebelum semua pekerjaan selesai, akibat dari kesalahan mereka karena menyuruhku dengan seenaknya, aku disuruh membersihkan semua tempat dirumah ini yang sebenarnya sudah bersih, namun sengaja dikotori oleh Klara dan Tante Irma sebagai hukuman, tanpa ada sarapan dan makan siang hingga semuanya selesai dengan sangat bersih.

"Duuuh kasian si Cinderella, ia di hukum oleh sang ibu tiri karena kesalahan yang tidak disengaja" Kata - kata seseorang menghentikkanku dari kegiatan membersihkan kolam renang yang terdapat banyak sampah, aku pun menoleh dan menatapnya dengan garang.

"Kenapa menatapku seperti itu nona Cindy?" Kata Maman seorang tukang kebun yang tidak dipecat oleh Tante Irma dan dia juga satu - satunya orang yang memanggilku dengan sebutan Nona karena menurutnya aku adalah Nonanya bukan pembantu seperti dia.

"Sudah ku bilang aku tak suka kau banding - bandingkan kisahku dengan Kisah Cinderella" Kataku kesal karena omongannya yang selalu menyamakan kisahku dengan kisah dongeng Cinderella yang sangat terkenal.

"Loh emang kenapa non? Bukannya memang mirip ya?" Katanya polos membuatku menatapnya semakin garang. 

"Sama bagaimana Cinderella cantik, sedangkan aku biasa aja. Dia orang yang lemah lembut, sedangkan aku tak mau dibilang lemah oleh siapapun. Dia suka menangis, Aku? hanya beberapa kali menangis, dan terakhir menangis saat kematian papa. Cinderella tidak mempunyai teman, tapi aku mempunyai teman meski hanya satu" Kataku sombong kepada Maman yang kini mengerutkan kening sambil menatapku.

"Emang kamu punya teman? Nona?" Tanyanya dengan nada penuh penekanan pada kata teman, yang menandakan bahwa aku tak mempunyai teman sama sekali.

"Kamu lah siapa lagi?" Jawabku tak memandangnya dan meneruskan pekerjaan membersihkan kolam renang, dan aku merasakan seseorang berdiri disamping yang kini memandangku.

"Kenapa?" Tanyaku pada Maman yang kini berada disampingku,

"Sejak kapan aku mau jadi teman Nona?" Katanya dengan nada dibuat - buat membuatku kesal dan bersiap memarahinya, namun alih - alih marah aku malah tertawa saat melihat wajahnya yang sengaja dia buat sepolos dan selucu mungkin.

Itulah Maman seorang tukang kebun bertubuh gempal yang mampu membuatku tertawa saat dalam keadaan apapun, apalagi disaat hatiku kesal karena perbuatan ibu tiriku.

"Nah gitu donk Nona Cinderella! Nona Cinderella sangat cantik jika tertawa. Jadi tertawa terus lah" Katanya membuatku menjitak kepalanya dan ia hanya meringis kesakitan.

"Sudah ku bilang jangan panggil aku Cinderella"Kataku kembali kesal, namun dia hanya terkekeh.

"Tapi kan memang nama non mirip nama Cinderella. Kisah hidupnya juga" Katanya.

"Nama memang mirip, kisah juga miriplah" Kataku dan mendapat anggukan darinya, "Tapi Cinderella kisahnya berakhir bahagia, karena dia akhirnya menikah dengan pangeran! Sedangkan aku? aku aja nggak tau nasibku entar gimana, Hari gini masih ada pangeran yang baik hati mau memilih seorang upik buruk rupa, kayaknya cuma mimpi deh" Jawabku dengan santai, namun Maman terlihat serius.

"Kalau begitu Nona berdoa saja agar nasib Non sama seperti Cinderella" Jawabnya dan ku balas hanya dengan anggukan kepala santai lalu melanjutkan pekerjaanku.




****




Karena aku kuliah di malam hari membuatku tidur jam 12 malam, dan harus bangun jam 4 pagi setiap harinya. Setiap hari juga saat di rumah aku tidak bisa makan dengan enak karena perbuatan ibu tiriku, membuat tubuhku kering kerontang serta tanpa gizi. Sebenarnya masih ada gizinya dan belum kurus kering kerontang, hehehehe.

Pagi ini aku bangun seperti biasa dan melaksanakan kegiatan pagi hariku seperti biasa pula, hingga makanan siap dan aku tak mendengar telepon berdering seperti biasa.

"Ini Aneh? Sejak kapan mereka tak menggangguku di pagi hari!" Kataku sambil melihat telpon yang dikhususkan hanya untuk panggilan - panggilan perintah dari Klara ataupun tante Irma.

Biasanya ponsel itu akan berbunyi jika aku masih memasak dan mulai menyuruhku macam - macam, tapi hari ini ponsel itu tak berbunyi bahkan berkedip pun tidak, padahal hari ini bukan hari libur, lagi pula hari libur atau bukan mereka pasti menggangguku. Akhirnya aku memasukkan kembali benda itu ke saku clemek dan membersihkan peralatan bekas memasakku tadi.

Setelah bersih aku berniat untuk memanggil tante Irma untuk sarapan, bagaimanapun juga aku sudah terbiasa dengan perintah - perintah yang menyebalkan dari mereka. Jika tidak ada perintah seperti ini rasanya aneh. 

"HAH"Baru saja aku berbalik dan hendak berjalan ke kamar Tante Irma, orang yang akan aku cari sudah berada di hadapanku saat ini dengan senyuman yang tidak seperti biasanya.

"Kenapa kaget seperti itu?" Tanya Tante Irma dengan lembut, yang justru membuatku merinding,

"Nggak ke..na.pa napa kok Tan" Jawabku sambil menelan ludah, ini beneran aneh aku yang terbiasa dengan nada kasar tante kini dia berkata denganku selembut suara ibu kepada anaknya. Mau tak mau membuatku curiga dengan gelagat tante.

"Kenapa bengong ayo kita makan bersama, ada hal yang ingin tante bicarakan" Katanya yang sukses membuatku menganga tak percaya, sejak kapan dia mau satu meja makan denganku? Mungkin iya saat dulu ada Papa dan aku bisa menikmati makanan yang ada di meja, lah ini Papa udah nggak ada sejak saat itu Tante Irma tak pernah baik padaku. Apa jangan - jangan arwah papa sedang berkunjung kesini? Memikirkan hal itu membuatku bergidik ngeri sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

"Woooi bengong, ayo duduk!!" Perintah Klara yang membuatku semakin bingung sejak kapan dia ada disini? dan sejak kapan pula dia menyuruhku duduk di meja makan?. Ini bener - bener aneh.

"Ya elah, kalau kamu nggak duduk, kapan kita makannya?" Kata Klara nggak sabar,

"Klara sayang, Sabar donk!" Kata Tante Irma membuat Klara mengerucutkan bibirnya kesal karena dapat teguran dari mamanya, itu teguran pertama yang tak pernah aku dengar sebelumnya, "Cindy ayo duduk kita makan bersama" Ajak tante Irma kepadaku sambil tersenyum membuatku menunjukk diriku sendiri, siapa tau yang dimaksud Cindy oleh Tante Irma bukanlah aku, namun dia mengangguk dan itu bukannya membuatku merasa lega namun semakin bingung karena sikapnya.

"Sejak kapan dia memanggil nama asliku" Gumamku sangat pelan dan bisa dipastikan tidak ada yang mendengar kecuali diriku sendiri sambil menarik kursi di depanku.

Kami pun makan makanan yang telah aku siapkan dengan tenang, berkali - kali aku melirik tante Irma dan Klara secara bergantian namun mereka tetap tenang seperti biasanya dan ketika mereka menatapku, tante Irma tersenyum manis dan Klara tersenyum dengan sedikit dipaksakan.

Untuk mengetahui ini mimpi atau bukan aku berkali - kali mencubit lenganku dan rasanya masih sama yaitu sakit dan itu bisa menajdi bukti bahwa aku tidak bermimpi. Setelah selesai makan Tante Irma berdehem lalu menatapku dan membuatku merasakan sesuatu yang tidak beres.

"Cindy tante ingin berbicara sama kamu, tentang masa depan kamu" Kata Tante Irma dengan nada selembut seorang ibu kepada anak gadisnya.

"Maksud tante?" Tanyaku selidik merasa curiga, Tante Irma tersenyum

"Tante akan menjodohkan kamu dengan seorang pangeran kaya raya, seperti impianmu" Jawab Tante Irma yang membuatku semakin bingung. Memang menikah dengan seorang pangeran tampan dan kaya raya adalah impianku, seperti kisah Cinderella. Tapi kupikir bukan aku saja yang menginginkannya semua gadis bahkan Klara yang saat ini berada di depanku juga menginginkannya, kenapa Tante Irma malah menawari aku dulu sebelum Klara? Apa jangan - jangan Klara sudah tau kalau pangeran itu jelek dan dia menolak lalu menyuruh tante Irma untuk menjodohkan ku dengan lelaki itu?

"Mama apa - apaan sih? Kenapa yang di tawari Cindee bukannya aku anak mama sendiri! harusnya mama menawari aku bukan Cinde?" Kata Klara membuat dugaan ku salah, ternyata dia belum tau tentang hal ini.

"Bukannya begitu sayang, tapi pangeran ini sudah memilih Cindy untuk menjadi pasangannya!" Kata Tante Irma, setau aku kalau di dongeng Cinderella sang ibu tiri akan menyembunyikan Cinderella dan akan menunjukkan putri kandungnya yang tidak cantik itu kan? Tapi kenapa di kisahku ini malah ibu tiri langsung menunjuk aku ya??

"Mama nggak adil, bener - bener nggak adil" Sungut Klara dengan wajah merajuk melihat itu membuatku tersenyum puas dan penuh kemenangan, namun masih ada rasa keadaan ini sangat aneh.

"Sudahlah, Mama sudah memutuskan untuk menerima pinangan ini untuk Cindy jadi kamu tidak bisa apa - apa" Kata Tante Irma yang membuatku menatapnya tak percaya.

"Apa maksud tante? Tante sudah menerima pinangan itu tanpa bicara dulu padaku?"Tanyaku dan dibalas dengan anggukan Tante Irma "Tante! bagaimana mungkin tante seperti itu?" Kataku mulai curiga dengan sikap Tante Irma, dia sangat lancang dengan menerima pinangan itu tanpa bicara dulu padaku.

"Emangnya kenapa? Tante yakin kamu akan senang, karena dia adalah pangeran kaya dan itu sesuai dengan impian kamu kan?" Jawab Tante Irma santai namun nadanya mulai meninggi.

"Tapi tetap saja tan! Kalau aku tidak suka dengannya gimana? Aku nggak mau hanya karena dia kaya aku menikah dengannya. Apalagi aku belum bertemu dengan orang itu sama sekali, bagaimana kalau dia seorang kakek - kakek tua yang mempunyai banyak istri, bagaimana" Kataku dengan nada ber api - api menahan kesal dan kalimatku terpotong oleh ucapan Tante Irma,

"Tepat sekali" Kata Tante Irma sambil tersenyum sumringah, membuatku semakin memicingkan mata.

"Maksud tante?" Tanyaku berharap bahwa dugaanku salah.

"Ya tepat sekali apa yang kamu bilang tentang tunanganmu, tapi dia belum jadi kakek ko'. Dia baru berumur 52 tahun dan memiliki satu istri mungkin kamu akan dijadikan istri keduanya" Kata Tante Irma sambil mengedip kedipkan matanya.

"APAA" Teriakku sambil berdiri dari kursi dan memandang tante Irma dan Klara yang menutup telinganya, biasanya aku lah yang selalu menutup telinga karena teriakan mereka sekarang keadaannya terbalik dan aku tak suka ini.







To be Continue!!




tadinya ini cerpen mau aku jadiin one shot aja, tapi ternyata terlalu panjang. Jadi apa boleh buat aku jadiin dua bagian deh.

Saturday 28 December 2013

"Cerpen Cinta 5 Meter"



Ide ini akhirnya terealisasikan juga, padahal udah lama ide ini muncul dan sangat ingin dijadikan sebagai cerpen. Setelah menimbang - nimbang,serta berdiskusi sedikit dengan teman akhirnya jadi juga kisah ini dijadikan cerpen.








Seorang gadis sedang duduk di teras depan rumahnya, menikmati sore hari yang cerah dengan sebuah buku yang berada di tangannya. Sebuah buku novel yang terbuka dan terlihat menggoda untuk dibaca, namun mata sang gadis itu teralihkan dari buku, menerawang ke depan memperhatikan satu obyek yang berada tak jauh didepannya. 


Memperhatikan gerak - gerik satu obyek yang menarik perhatiannya, satu obyek yang bisa dikatakan seorang manusia berkelamin laki - laki yang beberapa hari ini menarik perhatian sang gadis. Membuat sang gadis entah sejak kapan memulai kebiasaan duduk di depan rumah menikmati suasana sore, atau nuansa malam yang menyenangkan sambil memperhatikan gerak - gerik pemuda tersebut.


Bisa dilihat dari mata sang gadis ada rasa penuh kekaguman dan rasa penasaran saat menatap pemuda itu, meski ia tak yakin pemuda itu membalas tatapannya atau bahkan mengetahui keberadaannya. Namun seakan tidak peduli bahwa pemuda itu mengenalnya atau tidak, ia masih saja melakukan kebiasaan memperhatikan tingkah laku pemuda tersebut yang rumahnya di depan rumah sang gadis. 


Hanya lima meter kurang lebih jarak yang memisahkan mereka, namun sang gadis tak pernah berani bertukar sapa dengan pemuda itu, ia hanya bisa memperhatikan pemuda itu secara diam - diam.


"Memperhatikan dia lagi" Gumaman seseorang yang tepat berada di telinganya, membuat gadis itu terlonjak hingga menjatuhkan buku yang ada di tangannya, membuat orang yang menggumam itu terkekeh geli.


"Aduh Nadin, ngagetin aja deh" Gadis yang dipanggil Nadin terkikik tanpa dosa sedangkan gadis yang dikagetkannya bersungut - sungut karena kesal sambil menunduk dan mengambil buku yang terjatuh dari tangannya.


"Makanya jangan terlalu fokus memperhatikan dia Ar, sampai - sampai mengacuhkan kedatanganku" Jawab Nadin sambil duduk di sebelah gadis yang sedang menatapnya sebal.


"Kamunya aja yang datang nggak pake salam, dan berbisik di telingaku. Lagian siapa yang terlalu fokus memperhatikan siapa?" Balas gadis yang dipanggil Ar dengan nada penekanan di kata "siapa". 



Nadin hanya memutar bola mata tak menghiraukan runtukkan temannya itu "Kamu memperhatikan pemuda yang didepan itu lah, siapa lagi?" Kata Nadin sambil mengarahkan telunjuknya kearah depan tepat ke pemuda yang sedari tadi Arni perhatikan. Membuat Arni menelan ludah dengan salah tingkah.


"Lagi pula, kalau memang suka kenapa nggak coba ngajak kenalan aja sih! Dari pada cuma duduk dan diam - diam memperhatikannya" Kata Nadin santai namun berbanding terbalik dengan Arni yang kini menatapnya dengan tatapan horor miliknya.


"Kenapa? Toh memang kamu belum kenal kan sama dia?" Kata Nadin menegaskan posisi Arni yang memang tidak kenal sama pemuda yang mereka bicarakan, membuat Arni memhela napas yang dapat diartikan sebagai pembenaran ucapan Nadin, Arni memang tidak mengenal siapa nama pemuda itu, dia hanya tau bahwa pemuda itu bekerja ditempat fotocopy di depan rumahnya sejak beberapa bulan yang lalu.


"Iya sih, tapi masa aku harus utuk utuk kesana, tersenyum nggak jelas, lalu mengulurkan tangan sambil bilang. Hai boleh kenalan nggak? atau hai kenalin namaku Arni kamu siapa, atau cowok cakep, boleh kenalan donk?" Katanya dengan nada dibuat - buat serta ekspresi centil yang terlihat sangat dibuat - buat, membuat Nadin tertawa terbahak - bahak membayangkan jika sahabatnya benar - benar melakukan hal itu.


"Nggak lucu Nadin!" Bentaknya membuat Nadin harus susah payah beredakan tawanya yang kelewat itu, agar Arni tidak marah padanya, "Lagian itu bukan aku banget!" Lanjutnya tegas yang dibalas dengan anggukan Nadin yang masih bersusah payah meredakan tawanya.


"Iya ya ya! Aku tau, kamu bukan tipe seseorang yang seperti itu. Bahkan kamu orang dengan tipe cenderung mengabaikan seseorang yang baru kamu kenal, dibandingkan menjadi orang yang ingin mendapat perhatian dari orang baru bukan?" Kata Nadin yang dibalas dengan anggukan oleh Arni dan tatapan "Nah itu tau".


Nadin sudah mengenal Arni sejak lama, jadi dia tau Arni hanya tipe orang yang akan lebih memilih memperhatikan diam - diam dari pada harus melakukan berbagai cara untuk tau segala info yang berhubungan dengan orang yang ia sukai.


"Lagi pula"


"Lagi pula kamu ingin jatuh cinta pada orang yang tepat dan disaat yang tepat pula. Yaitu pada saat rasa cinta itu sudah halal bukan? Kamu udah pernah menngatakannya" Kata - kata Arni terpotong oleh omongan Nadin yang tau persis keinginan sederhana yang terdapat dalam hati Arni.



Dengan tidak percaya ia menatap Nadin yang kini sedang menatapnya, mengangguk mantap sebelum menundukkan kepalanya.


Nadin hanya menghela napas melihat kelakuan sahabatnya itu, "Kalau memang kaya gitu, apa menurut kamu dia orang yang tepat untuk kamu, hingga kamu jatuh cinta padanya?" Kata Nadin sambil memandang sosok pemuda yang sedang mereka bicarakan.


Dahi Arni mengernyit tidak memahami perkataan Nadin, Nadin yang kini sudah memandang Arni hanya tersenyum tipis.


"Kamu bilang, kamu ingin jatuh cinta pada orang yang tepat bukan? Apa menurut kamu dia orang yang tepat?" Tanya Nadin lagi sambil kembali memandang pemuda itu membuat Arni sedikit salah tingkah.


"Aku....aku nggak jatuh cinta padanya" Jawab Arni tegas namun matanya menyiratkan keraguan membuat Nadin kembali menatapnya dengan dahi berkerut dan tatapan "Masa?"


"Aku .........aku hanya suka memperhatikannya" Kilah Arni tanpa berani bertatapan mata dengan Nadin dan lebih memilih menundukkan kepalanya.


Sebenarnya ucapan itu hanya untuk menegaskan dirinya sendiri agar tidak jatuh cinta pada orang yang sedang mereka bicaran atau lebih tepatnya menyangkal perasaan yang tiba - tiba masuk ke dalam hati Arni, karena dia sendiri tidak yakin apakah orang yang sering ia perhatikan adalah orang yang tepat untuknya. Ia tidak yakin apakah orang ini yang Allah pilihkan untuknya, tidak yakin apakah hatinya ini digerakan oleh Allah agar ia bisa jatuh cinta kepada pemuda tersebut, atau hanya digerakan oleh bisikan setan serta hawa nafsu yang akan membawanya hanya kepada kepahitan semata.

Mencintai seseorang yang tidak tepat sangat menyakitkan, apalagi jika cinta itu tidak bisa dilupakan hingga dia bersama laki - laki lain dan hidup dalam bayangan cinta yang tidak bisa dimilikinya, Arni tau itu dan dia tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan kakaknya yang tidak bisa melupakan cintanya pada seseorang yang bukan suaminya, tidak bisa melupakan cinta yang bukan miliknya, mengkhianati perasaan sendiri karena mereka tak berjodoh. Untuk itu ia ingin jatuh cinta dengan benar sesuai dengan ajaran agamanya, jatuh cinta untuk orang yang benar, untuk orang yang akan mendampinginya selama sisa hidupnya. Sebuah keinginan sederhana namun tidak terlalu sederhana jika di praktekkan.


"Dari mata turun kehati, bukankah seperti itu perumpamaan datangnya cinta?" Kata - kata Nadin membuat Arni tersadar dari lamunannya, dan menatap sahabat yang sudah dikenalnya selama 10 tahun itu.


"Dari mata turun kehati, dari hati naik ke otak dari otak menyebarkan keseluruh anggota badan. Jika hati sudah terserang virus cinta, maka ia akan memerintahkan otak untuk selalu memikirkan orang itu. Hati yang hanya diliputi oleh hawa nafsu semata akan mengabaikan segala logika atau akal sehat yang coba otak sampaikan, hingga akal sehat itu kalah dan menyuruh seluruh anggota badan untuk melaksanakan segala cara agar kita bisa bersama dengan orang yang membuat kita jatuh cinta. Entah itu cara yang benar sesuai norma atau cara yang bertentangan dengan norma - norma yang ada. Bukankah itu akibatnya jika terjangkit penyakit jatuh cinta?" Tanya Nadin sambil memandang Arni.

"Kau tau dari mana pemikiran seperti itu? Apa kamu pernah mengalami hal itu?" Tanya Arni merasa heran dengan sahabatnya yang terkadang rese tapi bisa pemikiran seperti itu.

"Untuk mendapatkan pengalaman, tak perlu kau mengalaminya langsung bukan? Kau bisa melihat lingkungan sekitarmu. Jika kau pandai membaca situasi dan keadaan pasti akan ada pelajaran yang sangat berharga yang bisa kamu dapat dari lingkungan sekitarmu" Jawab Nadin sambil tersenyum misterius.

"Lagi pula, jodoh itu takkan kemana. Jika kau berjodoh dengannya, pasti dengan caraNYA sendiri kau akan bersama pemuda itu untuk selamanya. Begitu sebaliknya jika kau tak berjodoh dengan pemuda itu, sekuat apapun kau berusaha, semua usaha itu akan sia - sia bukan?" Kata Nadin sambil menatap langit lalu mengalihkan pandangan kearah Arni, dan tersenyum simpul.


Arni menatap sahabat yang ada duduk disampingnya sambil tersenyum, dia paham apa yang Nadin coba jelaskan padanya. Ia tak seharusnya menghabiskan waktunya hanya untuk memperhatikan seseorang yang belum tentu patut untuk Arni perhatikan. 


Selepas kepulangan Nadin, Arni memperhatikan kesekelilingnya. Merasa duduk diteras rumah hanya untuk memperhatikan seseorang bukan lah sesuatu yang penting, yang harus dilakukan hingga menjadikan sebuah kebiasaan.



Sekali lagi ia melihat kearah pemuda yang beberapa hari ini menjadi pusat perhatiannya sambil membereskan buku yang ada didepannya, Sebelum ia beranjak dari tempat duduk dan berjalan memasuki rumah.



Dengan penuh tekad untuk menghentikan kebiasaan memperhatikan pemuda itu ia perlahan - lahan menutup pintu rumah sambil bergumam "Jika dia memang orang yang tepat untukku, aku percaya Allah akan menyatukan kami dengan caraNYA yang akan berakhir dengan indah. Tapi jika memang dia bukan orang yang tepat untukku, aku ingin rasa cinta ini terhapus sebelum menjadi lebih dalam lagi dan menjadi salah" Gumamnya sambil tersenyum saat pintu tertutup sempurna, dan dengan senyuman Arni pergi kekamarnya.






Endiiinng

Cerpen ini penulis buat khusus untuk penulis sendiri. Hehehe

See you next my story ya!



(I Give You My Lovenya kapan ya disambung?#tanya pada diri sendiri) ;-)