Kali ini penulis mencoba buat bikin cerpen misteri nih, walau cerpen Maukah Kau Menungguku entah sampai kapan mau ada lanjutannya. :-)
Terdengar suara rintihan seseorang di sebuah lorong gelap, aku mencoba untuk mencari asal rintihan tersebut, dengan hati - hati ku telusuri lorong gelap di sekitarku. Tak jelas memang apa yang dikatakan orang yang sedang merintih namun cukup membuatku penasaran untuk menolongnya. Aku kembali berjalan mencari sumber suara yang membuatku sedikit merinding, dengan mengendap - endap ku naiki anak tangga yang menghubungkan ruang bawah dengan ruang atas, tanpa aku sadari bibirku berucap menghitung setiap anak tangga yang ku naiki.
" 1 2 3 4 5 6" Gumamku tanpa sadar dan dengan jantung yang semakin berdebar disetiap anak tangga yang kulewati, keringat dingin keluar tanpa seizin ku membasahi sekujur tubuh. Suasana ruangan sangat gelap dan tak ada siapapun kecuali suara orang yang terdengar sedang merintih dan berbicara entah pada siapa karena aku belum bisa menemukan bayangan mereka.
Tubuhku bergetar setiap anak tangga yang kunaiki bertambah sampai di anak tangga yang ke 13 aku melihat genangan air berwarna merah kental dan mulai menggucur ke bawah. Ku tutup mulutku melihat darah yang ada, mencoba untuk tak berteriak karena takut akan ketahuan oleh orang yang mungkin berniat jahat yang ada di ruangan atas sana. Sejenak aku terpaku melihat darah dan membayangkan apa gerangan yang terjadi diatas sana? Tiba - tiba saja terdengar suara seperti benda berat yang jatuh menuruni anak tangga itu, aku mendongak mencoba mencari benda apa itu. Mataku terbelalak melihat benda yang akan meninpaku, membuatku merasa takut dan tak dapat menahan teriakkanku. Aku berteriak sekencang - kencangnya.
"AAAAACCCCCCCCHHHH" Teriakku saat terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, aku terbangun dengan keringat yang membanjiri tubuhku, ku usap keningku dan mencoba untuk mengatur napas agar sedikit tenang.
"Astaghfirullah mimpi buruk itu lagi" Gumamku sambil beranjak dari tempat tidur ke kamar mandi untuk mandi dan berwudhu karena jam sudah menunjukkan waktu subuh.
Setelah sholat subuh aku keluar kamar dan mendapati bunda yang sedang memasak untuk sarapan kami, ku hampiri beliau dan mencoba membantunya.
"Kamu kenapa Aira? Ko' lesu banget?" Tanya Bunda sambil memperhatikan aku, Aku hanya mendongak dan dengan lesu berkata "Nggak kenapa - napa ko' bun, cuma mimpi buruk aja"
"Lain kali kalau mau tidur berdoa dulu biar nggak mimpi buruk" Kata Bunda sambil tersenyum padaku.
"Iya bunda" Jawabku sambil tersenyum pula. Kami pun meneruskan kegiatan memasaknya.
Setelah semua siap aku kembali ke kamar untuk berganti baju seragam, sedangkan bunda pergi membangunkan adikku Vivi.
Hari ini adalah hari pertama aku di sekolah baru karena kami juga baru pindahan ke daerah ini. Ayah mendapatkan mutasi kerja sehingga membuat kami satu keluarga pindah rumah mengikuti tempat kerja Ayah. Meski awalnya aku keberatan namun kami tetap saja pindah.
"Ku rasa semua sudah rapi" Gumam ku sambil berlenggak - lenggok di depan cermin memastikan semuanya rapi.
"Hem, pindah sekolah yang baru. Apa aku bisa cepat beradaptasi disini?" Lanjutku sambil menunduk lesu memikirkan bagaimana nanti di sekolah baru, apa aku akan mendapatkan banyak teman atau aku akan mempunyai banyak musuh?
"Yang penting bukan banyaknya orang menyukaimu atau banyak orang yang membencimu. Tapi bagaimana cara kamu menyesuaikan dan membuka diri pada mereka. Kalau kamu terbuka diri dalam pergaulan pasti lambat laut mereka akan bisa menerimamu" Kata Bunda yang sudah diambang pintu kamar, Aku menoleh kepada bunda yang tersenyum dan menghampiriku.
"Dan yang lebih penting lagi kamu harus jadi diri kamu sendiri tak harus menjadi orang lain untuk bisa disenangi oleh orang lain. Cukup menjadi diri sendiri dan menjaga hati agar tak menyakiti orang lain" Kata bunda yang kini sudah ada dihadapanku dan memegang pundakku sambil tersenyum. Aku pun tersenyum kepada bunda dan memeluknya.
"Bunda selalu mengerti Aira" Kataku dalam hati.
"Udah ayo keluar lalu sarapan Ayah sama Vivi udah nunggu di meja makan" Kata Bunda sambil melepaskan pelukannya dan beranjak keluar kamar.
Aku sekali lagi bercermin dan tersenyum memandanginya.
***
Didalam mobil Vivi tak henti - hentinya bercermin membuat Aku dan Ayah hanya bisa geleng - geleng kepala. Adikku memang sedikit centil berbeda karakter denganku, entah dari mana sikap centilnya itu karena memang Bunda juga tidak memiliki sikap centil.
"Udah donk Vi, ntar cerminnya pecah " Godaku sambil menurunkan tangan Vivi yang sedang memegang cermin.
"Aduh kakak ini kan hari pertama Vivi di sekolah baru jadi Vivi harus keliatan cantik donk. Siapa tau aja ntar disana ada cowok ganteng dan entar naksir Vivi deh karena Vivi cantik" Jawab Vivi. Aku hanya bisa mencibir sinis.
"Emang kalau ada cowok yang naksir kamu?, terus kamu dibolehin sama Ayah buat pacaran gitu" Kataku menggoda Vivi sambil memandang Ayah, Vivi mendengus lalu memajukan badannya ke arah ayah.
"Yah bolehkan kalau Vivi naksir sama cowok?" Tanya Vivi dengan nada memelas sambil melirikku. Ayah mencoba memandang Vivi lewat kaca spion depan.
"Boleh aja, nggak ada salahnya kamu suka sama cowok" Jawab Ayah membuat Vivi kegirangan dan menjulurkan lidahnya ke arahku, aku hanya meliriknya sinis.
"Tapi kamu nggak boleh pacaran sebelum kakak kamu punya pacar" Lanjut Ayah membuat Vivi mendengus kesal, aku hanya tersenyum kecut karena namaku di bawa - bawa oleh Ayah. Vivi lalu meatapku dengan tatapan
"Kapan kakak punya pacar" Aku hanya bisa menggeleng - gelengkan kepala saja membalas tatapannya yang aneh itu.
"Dan satu lagi, kalian nggak boleh pacaran sebelum selesai sekolah" Tegas Ayah membuat Vivi sontak mengkerut memundurkan badannya dan duduk dengan posisi tegak dan tak lagi memegang cermin, sedangkan aku hanya bisa tersenyum melihat raut kekecewaan pada adikku karena aku tau dan Vivi juga tau kalau Ayah sudah berkata tegas berarti tak ada ampun baginya.
"Beginilah Ayahku perhatian dan penuh dedikasi, meski terkadang lembut namun ia mempunyai sisi yang tegas pula" Gumamku sambil memandang kagum kepada Ayahku.
Aku berjalan ke dalam sekolah sendirian tanpa Ayah karena Ayah harus mengantar Vivi ke sekolahnya. Aku pun tak keberatan toh aku sudah besar jadi tinggal masuk ke ruangan pak kepala sekolah dan menyerahkan berkas yang kubawa.
"Hem aneh sepertinya aku sudah pernah kesekolah ini? Tapi kapan? aku kan baru pindah ke daerah ini!" Gumamku dalam hati sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman sekolah.
Tak membutuhkan waktu lama untuk bisa menemukan ruang kepala sekolah, karena entah kenapa kaki ini seperti hafal dengan sebeluk beluk sekolah ini.
"Ya saya sudah menerima surat dari sekolahmu yang dulu, jadi kamu bisa langsung mengikuti pelajaran hari ini juga" Kata Pak Kepala sekolah setelah aku duduk di kursi berhadapan dengannya.
Aku tersenyum senang mendengarnya karena prosedurnya tak sesulit yang aku bayangkan. Tiba - tiba terdengar suara pintu di ketuk Pak Kepala sekolah menyuruhnya untuk masuk.
"Nah Aira ini ibu Nina yang akan mengantarkan kamu ke kelas kamu" Lanjut Pak Kepala Sekolah memperkenalkan Ibu Nina yang kini berada disampingku. Ibu Nina tersenyum padaku aku pun membalas senyumannya.
"Nama saya Aira bu" Kataku sambil mengulurkan tangan kepadanya, Ibu Nina memperhatikan ku sejenak dari kaki hingga ke atas membuatku bingung karena sikapnya, raut mukanya menunjukkan ketidakpercayaannya.
"Ada apa bu?" Tanyaku dengan sedikit curiga.
"Emm. nggak nggak papa. Sebaiknya kita segera ke kelas kamu mari pak kepala sekolah" Kata Bu Nina perpamitan kepada Pak kepala sekolah dan mengajakku ke kelas baru. Aku pun mengikutinya tanpa banyak bicara.
Bu Nina masih sekali - kali memperhatikanku, namun ia tak mengatakan apa - apa kepadaku, tatapan matanya seakan memandangku tak percaya.
"Aneh kenapa tatapan Bu Nina seperti itu? Apa ada yang salah sama aku" Gumamku dalam hati karena tak berani bertanya kepada Bu Nina.
Bu Nina mengajakku ke koridor sekolah menuju ruang atas, aku masih mengikutinya dengan mengedarkan pandangan seraya mengingat - ngingat tempat ini.
"Sepertinya aku mengenal tempat ini" Gumam ku dalam hati, jantungku berdetak kencang, bulu kudukku segera berdiri namun aku masih mencoba untuk tenang meski keringat dingin sudah mulai membanjiri tubuhku.
Kami menaiki anak tangga menuju lantai atas, dan tanpa ku sadari kaki ku berhenti terasa berat untuk berjalan.
"Kamu ko' malah berhenti Aira? Ayo naik" Kata Bu Nina sambil menengokku kebelakang, Aku hanya tersenyum dan menjawab "Iya, bu".
Ku naiki tangga dengan perasaan takut, ntah dari mana rasa takut itu muncul padahal aku tak mempunyai fobia dengan ketinggian. Jantung ku berdetak semakin cepat, lambat laut ruangan menjadi gelap tanpa ku sadari aku menghitung setiap anak tangga yang ku naiki. Seperti dalam mimpi burukku sebelumnya, napasku tersengal - sengal kini aku sadar ruangan ini, anak tangga ini adalah anak tangga yang muncul dalam mimpiku.
"1 2 3 4 5" Ku terus berhitung sampai hitungan 13, kakiku berhenti cairan merah kental berada di anak tangga ini, bahkan telah membasahi kakiku.
"Accch" Aku menjerit ketakutan dan bahkan aku tersadar bahwa Bu Nina kini sudah tidak ada di depanku. Ruangan menjadi gelap persis seperti dalam mimpi ku.
"Ibu...... Bu Nina........... Accch" Ku panggil nama Bu Nina namun tak ada sahutan dari Bu Nina yang ku dengar, Aku mulai panik, karena kakiku tak bisa ku gerakan.
"Bagaimana ini, tolong" Teriakku sekencang - kencangnya berharap ada seseorang yang mendengar dan akan menolongku. Namun aku lagi - lagi kecewa karena memang tak ada orang yang datang menolongku. Aku pun menyerah dan bersandar ke dinding, sedangkan darah itu semakin merambat ke pakaianku membuat aku seperti bermandian darah, ku telungkupkan wajahku dan aku pasrah akan apa yang terjadi padaku.
Tiba - tiba saja ada tangan yang memegang pundakku, aku mendongak kaget dan melihat pemilik tangan tersebut. Ternyata Bu Nina yang memegangku aku langsung memeluk Bu Nina dan bersyukur karena Bu Nina telah kembali.
"Ibu tadi pergi kemana, aku takut disini ada darah banyak sekali" Kata sambil masih memeluk Bu Nina, Bu Nina melepaskan pelukannya menatap heran kepadaku.
"Saya dari tadi di depan kamu, kamu kenapa tiba - tiba jongkok seperti orang ketakutan" Tanya Bu Nina kepadaku yang justru membuatku bingung.
"Tadi ibu nggak ada disini, bahkan di lantai banyak sekali darah Bu" Kataku sambil melihat ke bawah namun lantai yang tadinya begitu banyak darah kini bersih tak ada noda darah setetespun. Aku merasa bingung dan mengedarkan pandangan ruangan menjadi terang kembali tak seperti beberapa menit sebelumnya.
"Darah? Mana ada darah? Orang lantainya bersih gini ko' " Kata Bu Nina sambil menggeleng - gelengkan kepala, sedangkan aku masih yakin bahwa tadi banyak sekali darah disini.
"Tapi tadi beneran bu, darah itu bahkan membasahi sekujur tubuh saya" Kataku mencoba meyakinkan Bu Nina, namun Bu Nina masih tak percaya dan menatapku dengan aneh.
"Sudah lah mungkin kamu halusinasi, ayo cepat ke kelas kamu" Ajak Bu Nina yang tak percaya, aku pun sedikit kecewa karena Bu Nina benar - benar tak percaya.
"Makanya jangan suka nonton film horor jadi halusinasi deh" Ucapnya dengan sinis kepadaku setelah beberapa langkah menjauh dari tangga. Aku hanya bisa menghela napas mencoba menerima ucapan Bu Nina meski aku yakin kejadian tadi bukanlah halusinasi.
Tidak lama dari tangga aku sampai di sebuah kelas, yaitu kelas 2 IPA. Bu Nina mengetuk pintu kelas dan membukanya, lalu ia masuk menghampiri guru yang sedang mengajar.
"Permisi Pak Anton disini kedatangan murid baru dan akan menempati kelas ini" Kata Bu Nina, Pak Anton menghentikan pelajarannya dan menyuruhku masuk untuk memperkenalkan diri.
Aku masuk dengan sedikit gugup karena ini pertama kalinya untukku menjadi murid baru di sebuah sekolah.
"Nah Anak - anak kita mempunyai teman baru" Kata Pak Anton kepada semua siswa yang berada di kelas saat aku sudah berada di sampingnya dengan menundukkan kepala.
"AIRA" Sontak semua siswa memanggilku bahkan sebelum aku memperkenalkan diriku kepada mereka. Aku mendongak bingung.
"Kalian mengenal ku" Tanyaku bingung sambil menatap satu persatu teman sekelasku berusaha mencari apakah ada seseorang yang ku kenal sebelumnya, namun aku yakin sekali bahwa hari ini aku pertama kali datang ke sini dan tak ada satu pun orang yang aku kenal di kelas ini.
Tatapan mereka berubah aneh, seperti tak percaya dan bahkan ada yang sampai menutup mulutnya sambil menggeleng - gelengkan kepala dan juga ada yang bergumam "Dia hidup lagi?"
Membuatku bingung dan sangat tak mengerti akan semua ini.
"Apa maksudnya ini" Gumamku lirih sambil menatap Pak Anton yang juga sedang menatapku tak percaya.
Cerpen Tangga 13
Terdengar suara rintihan seseorang di sebuah lorong gelap, aku mencoba untuk mencari asal rintihan tersebut, dengan hati - hati ku telusuri lorong gelap di sekitarku. Tak jelas memang apa yang dikatakan orang yang sedang merintih namun cukup membuatku penasaran untuk menolongnya. Aku kembali berjalan mencari sumber suara yang membuatku sedikit merinding, dengan mengendap - endap ku naiki anak tangga yang menghubungkan ruang bawah dengan ruang atas, tanpa aku sadari bibirku berucap menghitung setiap anak tangga yang ku naiki.
" 1 2 3 4 5 6" Gumamku tanpa sadar dan dengan jantung yang semakin berdebar disetiap anak tangga yang kulewati, keringat dingin keluar tanpa seizin ku membasahi sekujur tubuh. Suasana ruangan sangat gelap dan tak ada siapapun kecuali suara orang yang terdengar sedang merintih dan berbicara entah pada siapa karena aku belum bisa menemukan bayangan mereka.
Tubuhku bergetar setiap anak tangga yang kunaiki bertambah sampai di anak tangga yang ke 13 aku melihat genangan air berwarna merah kental dan mulai menggucur ke bawah. Ku tutup mulutku melihat darah yang ada, mencoba untuk tak berteriak karena takut akan ketahuan oleh orang yang mungkin berniat jahat yang ada di ruangan atas sana. Sejenak aku terpaku melihat darah dan membayangkan apa gerangan yang terjadi diatas sana? Tiba - tiba saja terdengar suara seperti benda berat yang jatuh menuruni anak tangga itu, aku mendongak mencoba mencari benda apa itu. Mataku terbelalak melihat benda yang akan meninpaku, membuatku merasa takut dan tak dapat menahan teriakkanku. Aku berteriak sekencang - kencangnya.
"AAAAACCCCCCCCHHHH" Teriakku saat terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, aku terbangun dengan keringat yang membanjiri tubuhku, ku usap keningku dan mencoba untuk mengatur napas agar sedikit tenang.
"Astaghfirullah mimpi buruk itu lagi" Gumamku sambil beranjak dari tempat tidur ke kamar mandi untuk mandi dan berwudhu karena jam sudah menunjukkan waktu subuh.
Setelah sholat subuh aku keluar kamar dan mendapati bunda yang sedang memasak untuk sarapan kami, ku hampiri beliau dan mencoba membantunya.
"Kamu kenapa Aira? Ko' lesu banget?" Tanya Bunda sambil memperhatikan aku, Aku hanya mendongak dan dengan lesu berkata "Nggak kenapa - napa ko' bun, cuma mimpi buruk aja"
"Lain kali kalau mau tidur berdoa dulu biar nggak mimpi buruk" Kata Bunda sambil tersenyum padaku.
"Iya bunda" Jawabku sambil tersenyum pula. Kami pun meneruskan kegiatan memasaknya.
Setelah semua siap aku kembali ke kamar untuk berganti baju seragam, sedangkan bunda pergi membangunkan adikku Vivi.
Hari ini adalah hari pertama aku di sekolah baru karena kami juga baru pindahan ke daerah ini. Ayah mendapatkan mutasi kerja sehingga membuat kami satu keluarga pindah rumah mengikuti tempat kerja Ayah. Meski awalnya aku keberatan namun kami tetap saja pindah.
"Ku rasa semua sudah rapi" Gumam ku sambil berlenggak - lenggok di depan cermin memastikan semuanya rapi.
"Hem, pindah sekolah yang baru. Apa aku bisa cepat beradaptasi disini?" Lanjutku sambil menunduk lesu memikirkan bagaimana nanti di sekolah baru, apa aku akan mendapatkan banyak teman atau aku akan mempunyai banyak musuh?
"Yang penting bukan banyaknya orang menyukaimu atau banyak orang yang membencimu. Tapi bagaimana cara kamu menyesuaikan dan membuka diri pada mereka. Kalau kamu terbuka diri dalam pergaulan pasti lambat laut mereka akan bisa menerimamu" Kata Bunda yang sudah diambang pintu kamar, Aku menoleh kepada bunda yang tersenyum dan menghampiriku.
"Dan yang lebih penting lagi kamu harus jadi diri kamu sendiri tak harus menjadi orang lain untuk bisa disenangi oleh orang lain. Cukup menjadi diri sendiri dan menjaga hati agar tak menyakiti orang lain" Kata bunda yang kini sudah ada dihadapanku dan memegang pundakku sambil tersenyum. Aku pun tersenyum kepada bunda dan memeluknya.
"Bunda selalu mengerti Aira" Kataku dalam hati.
"Udah ayo keluar lalu sarapan Ayah sama Vivi udah nunggu di meja makan" Kata Bunda sambil melepaskan pelukannya dan beranjak keluar kamar.
Aku sekali lagi bercermin dan tersenyum memandanginya.
***
Didalam mobil Vivi tak henti - hentinya bercermin membuat Aku dan Ayah hanya bisa geleng - geleng kepala. Adikku memang sedikit centil berbeda karakter denganku, entah dari mana sikap centilnya itu karena memang Bunda juga tidak memiliki sikap centil.
"Udah donk Vi, ntar cerminnya pecah " Godaku sambil menurunkan tangan Vivi yang sedang memegang cermin.
"Aduh kakak ini kan hari pertama Vivi di sekolah baru jadi Vivi harus keliatan cantik donk. Siapa tau aja ntar disana ada cowok ganteng dan entar naksir Vivi deh karena Vivi cantik" Jawab Vivi. Aku hanya bisa mencibir sinis.
"Emang kalau ada cowok yang naksir kamu?, terus kamu dibolehin sama Ayah buat pacaran gitu" Kataku menggoda Vivi sambil memandang Ayah, Vivi mendengus lalu memajukan badannya ke arah ayah.
"Yah bolehkan kalau Vivi naksir sama cowok?" Tanya Vivi dengan nada memelas sambil melirikku. Ayah mencoba memandang Vivi lewat kaca spion depan.
"Boleh aja, nggak ada salahnya kamu suka sama cowok" Jawab Ayah membuat Vivi kegirangan dan menjulurkan lidahnya ke arahku, aku hanya meliriknya sinis.
"Tapi kamu nggak boleh pacaran sebelum kakak kamu punya pacar" Lanjut Ayah membuat Vivi mendengus kesal, aku hanya tersenyum kecut karena namaku di bawa - bawa oleh Ayah. Vivi lalu meatapku dengan tatapan
"Kapan kakak punya pacar" Aku hanya bisa menggeleng - gelengkan kepala saja membalas tatapannya yang aneh itu.
"Dan satu lagi, kalian nggak boleh pacaran sebelum selesai sekolah" Tegas Ayah membuat Vivi sontak mengkerut memundurkan badannya dan duduk dengan posisi tegak dan tak lagi memegang cermin, sedangkan aku hanya bisa tersenyum melihat raut kekecewaan pada adikku karena aku tau dan Vivi juga tau kalau Ayah sudah berkata tegas berarti tak ada ampun baginya.
"Beginilah Ayahku perhatian dan penuh dedikasi, meski terkadang lembut namun ia mempunyai sisi yang tegas pula" Gumamku sambil memandang kagum kepada Ayahku.
Aku berjalan ke dalam sekolah sendirian tanpa Ayah karena Ayah harus mengantar Vivi ke sekolahnya. Aku pun tak keberatan toh aku sudah besar jadi tinggal masuk ke ruangan pak kepala sekolah dan menyerahkan berkas yang kubawa.
"Hem aneh sepertinya aku sudah pernah kesekolah ini? Tapi kapan? aku kan baru pindah ke daerah ini!" Gumamku dalam hati sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman sekolah.
Tak membutuhkan waktu lama untuk bisa menemukan ruang kepala sekolah, karena entah kenapa kaki ini seperti hafal dengan sebeluk beluk sekolah ini.
"Ya saya sudah menerima surat dari sekolahmu yang dulu, jadi kamu bisa langsung mengikuti pelajaran hari ini juga" Kata Pak Kepala sekolah setelah aku duduk di kursi berhadapan dengannya.
Aku tersenyum senang mendengarnya karena prosedurnya tak sesulit yang aku bayangkan. Tiba - tiba terdengar suara pintu di ketuk Pak Kepala sekolah menyuruhnya untuk masuk.
"Nah Aira ini ibu Nina yang akan mengantarkan kamu ke kelas kamu" Lanjut Pak Kepala Sekolah memperkenalkan Ibu Nina yang kini berada disampingku. Ibu Nina tersenyum padaku aku pun membalas senyumannya.
"Nama saya Aira bu" Kataku sambil mengulurkan tangan kepadanya, Ibu Nina memperhatikan ku sejenak dari kaki hingga ke atas membuatku bingung karena sikapnya, raut mukanya menunjukkan ketidakpercayaannya.
"Ada apa bu?" Tanyaku dengan sedikit curiga.
"Emm. nggak nggak papa. Sebaiknya kita segera ke kelas kamu mari pak kepala sekolah" Kata Bu Nina perpamitan kepada Pak kepala sekolah dan mengajakku ke kelas baru. Aku pun mengikutinya tanpa banyak bicara.
Bu Nina masih sekali - kali memperhatikanku, namun ia tak mengatakan apa - apa kepadaku, tatapan matanya seakan memandangku tak percaya.
"Aneh kenapa tatapan Bu Nina seperti itu? Apa ada yang salah sama aku" Gumamku dalam hati karena tak berani bertanya kepada Bu Nina.
Bu Nina mengajakku ke koridor sekolah menuju ruang atas, aku masih mengikutinya dengan mengedarkan pandangan seraya mengingat - ngingat tempat ini.
"Sepertinya aku mengenal tempat ini" Gumam ku dalam hati, jantungku berdetak kencang, bulu kudukku segera berdiri namun aku masih mencoba untuk tenang meski keringat dingin sudah mulai membanjiri tubuhku.
Kami menaiki anak tangga menuju lantai atas, dan tanpa ku sadari kaki ku berhenti terasa berat untuk berjalan.
"Kamu ko' malah berhenti Aira? Ayo naik" Kata Bu Nina sambil menengokku kebelakang, Aku hanya tersenyum dan menjawab "Iya, bu".
Ku naiki tangga dengan perasaan takut, ntah dari mana rasa takut itu muncul padahal aku tak mempunyai fobia dengan ketinggian. Jantung ku berdetak semakin cepat, lambat laut ruangan menjadi gelap tanpa ku sadari aku menghitung setiap anak tangga yang ku naiki. Seperti dalam mimpi burukku sebelumnya, napasku tersengal - sengal kini aku sadar ruangan ini, anak tangga ini adalah anak tangga yang muncul dalam mimpiku.
"1 2 3 4 5" Ku terus berhitung sampai hitungan 13, kakiku berhenti cairan merah kental berada di anak tangga ini, bahkan telah membasahi kakiku.
"Accch" Aku menjerit ketakutan dan bahkan aku tersadar bahwa Bu Nina kini sudah tidak ada di depanku. Ruangan menjadi gelap persis seperti dalam mimpi ku.
"Ibu...... Bu Nina........... Accch" Ku panggil nama Bu Nina namun tak ada sahutan dari Bu Nina yang ku dengar, Aku mulai panik, karena kakiku tak bisa ku gerakan.
"Bagaimana ini, tolong" Teriakku sekencang - kencangnya berharap ada seseorang yang mendengar dan akan menolongku. Namun aku lagi - lagi kecewa karena memang tak ada orang yang datang menolongku. Aku pun menyerah dan bersandar ke dinding, sedangkan darah itu semakin merambat ke pakaianku membuat aku seperti bermandian darah, ku telungkupkan wajahku dan aku pasrah akan apa yang terjadi padaku.
Tiba - tiba saja ada tangan yang memegang pundakku, aku mendongak kaget dan melihat pemilik tangan tersebut. Ternyata Bu Nina yang memegangku aku langsung memeluk Bu Nina dan bersyukur karena Bu Nina telah kembali.
"Ibu tadi pergi kemana, aku takut disini ada darah banyak sekali" Kata sambil masih memeluk Bu Nina, Bu Nina melepaskan pelukannya menatap heran kepadaku.
"Saya dari tadi di depan kamu, kamu kenapa tiba - tiba jongkok seperti orang ketakutan" Tanya Bu Nina kepadaku yang justru membuatku bingung.
"Tadi ibu nggak ada disini, bahkan di lantai banyak sekali darah Bu" Kataku sambil melihat ke bawah namun lantai yang tadinya begitu banyak darah kini bersih tak ada noda darah setetespun. Aku merasa bingung dan mengedarkan pandangan ruangan menjadi terang kembali tak seperti beberapa menit sebelumnya.
"Darah? Mana ada darah? Orang lantainya bersih gini ko' " Kata Bu Nina sambil menggeleng - gelengkan kepala, sedangkan aku masih yakin bahwa tadi banyak sekali darah disini.
"Tapi tadi beneran bu, darah itu bahkan membasahi sekujur tubuh saya" Kataku mencoba meyakinkan Bu Nina, namun Bu Nina masih tak percaya dan menatapku dengan aneh.
"Sudah lah mungkin kamu halusinasi, ayo cepat ke kelas kamu" Ajak Bu Nina yang tak percaya, aku pun sedikit kecewa karena Bu Nina benar - benar tak percaya.
"Makanya jangan suka nonton film horor jadi halusinasi deh" Ucapnya dengan sinis kepadaku setelah beberapa langkah menjauh dari tangga. Aku hanya bisa menghela napas mencoba menerima ucapan Bu Nina meski aku yakin kejadian tadi bukanlah halusinasi.
Tidak lama dari tangga aku sampai di sebuah kelas, yaitu kelas 2 IPA. Bu Nina mengetuk pintu kelas dan membukanya, lalu ia masuk menghampiri guru yang sedang mengajar.
"Permisi Pak Anton disini kedatangan murid baru dan akan menempati kelas ini" Kata Bu Nina, Pak Anton menghentikan pelajarannya dan menyuruhku masuk untuk memperkenalkan diri.
Aku masuk dengan sedikit gugup karena ini pertama kalinya untukku menjadi murid baru di sebuah sekolah.
"Nah Anak - anak kita mempunyai teman baru" Kata Pak Anton kepada semua siswa yang berada di kelas saat aku sudah berada di sampingnya dengan menundukkan kepala.
"AIRA" Sontak semua siswa memanggilku bahkan sebelum aku memperkenalkan diriku kepada mereka. Aku mendongak bingung.
"Kalian mengenal ku" Tanyaku bingung sambil menatap satu persatu teman sekelasku berusaha mencari apakah ada seseorang yang ku kenal sebelumnya, namun aku yakin sekali bahwa hari ini aku pertama kali datang ke sini dan tak ada satu pun orang yang aku kenal di kelas ini.
Tatapan mereka berubah aneh, seperti tak percaya dan bahkan ada yang sampai menutup mulutnya sambil menggeleng - gelengkan kepala dan juga ada yang bergumam "Dia hidup lagi?"
Membuatku bingung dan sangat tak mengerti akan semua ini.
"Apa maksudnya ini" Gumamku lirih sambil menatap Pak Anton yang juga sedang menatapku tak percaya.
0 comments:
Post a Comment