Monday 6 January 2014

"Cerpen Cinderella dan Beauty & The beast"




Masih tentang sekitar dongeng, hah tiba - tiba aja ide ini muncul. Jadi aku tulis langsung ach!!









"Cerpen Cinderella dan Beauty & The beast"

Kring......Kring......Kring, aku mengambil telpon yang berada di saku clemekku, tanpa susah payah melihat siapa yang menelpon aku letakkan telpon itu agak jauh dari jangkaukan telinga dan memencet tombol penjawabnya, Satu detik.......... dua detik..........tiga detik ku itung dalam hati,

"CIIIIIIIIIIIIINDEEEEEEEEEEEEEEEEE" Sebuah teriakan dari telpon tersebut terdengar begitu nyaring di telingaku meski benda itu sudah jauh dari jangkauan telinga.

"DIMANA SEPATUKU" Bentakkan dari seberang sana terdengar sebelum aku menjawab panggilan yang pertamanya.

"Di lemari sepatu mu Klara" Kataku dengan suara tak kalah keras agar bisa terdengar olehnya.

"Cepat ambilkan" Perintahnya seperti biasa, 

"Aduh Klara ambil sendiri aku lagi memasak sarapan untuk kalian ini" Balasku dengan tangan bersiap - siap memasukkan ikan ke dalam penggorengan.

"Owh owh owh! Kau udah berani tak mau mentaati perintahku. Kau mau aku menyuruh mami untuk berhenti membiayaimu kuliah, Hah!"Katanya mengancam, aku hanya bisa menghela napas pasrah dan mengecilkan api, mencuci tangan lalu bersiap - siap ke kamarnya di lantai dua.

"Ya baik aku kesana" Jawabku akhirnya dengan lesu, tanpa bicara apapun lagi, Klara memutuskan sambungan teleponnya.

Begitulah kebiasaan Klara Rosita saudara tiriku yang teramat menyebalkan yang akan menelponku hanya untuk menyuruhku ini dan itu, dan yang pasti jika aku menolak perintahnya bisa dipastikan aku akan mendapatkan tugas yang lebih berat, atau seperti ancamannya yaitu menyuruh sang mama untuk berhenti membiayaiku kuliah, mau tak mau aku pun menuruti apapun perintahnya.

Disini lah aku berada di kamar mewah seorang Klara yang berada di lantai dua, ruangan yang terbesar dari ruangan lain di rumahku ini, jangan tanya kamarku dimana? Kalian pasti bisa menebak dimana letak kamar untuk seseorang sepertiku ini. Yappp! Benar tebakan kalian, kamarku hanya sebuah gudang kecil dekat dengan dapur dan toilet belakang sangat berbeda jauh dari kamar Klara yang mewah ini. Di ruangan ini terlalu banyak almari hanya untuk aksesoris Klara, ada almari sepatu, almari baju, almari tas dan juga almari aksesoris dan kini aku sedang di depan almari sepatu Klara untuk mencarikannya sepasang sepatu yang ingin ia kenakan.

"Cepetan! nyari sepatu yang pas buat pakean ini aja lama!" Katanya Sarkatik, aku hanya memutar bola mata merasa bosan oleh ocehannya.

"Aku kan bukan styles Klara, jadi mana aku tau sepatu mana yang cocok untuk bajumu itu" Sungutku sebal sambil mengeluarkan sebuah sepatu yang entah sudah ke berapa hanya untuk membuatnya keliatan mecing untuk dikenakan dengan baju terusan biru mudanya.

"No............no...........no" Katanya alay, "Kamu memang bukan styles, tapi kamu adalah asistenku jadi harus ngerti seleraku donk!Jangan cuma asal ngambilin aja!" Mana aku ngerti seleranya orang dia nggak pernah bilang mau pake sepatu yang mana, dia hanya menyuruhku mengambilkan sepatu di rak sepatu yang tak jauh dari jangkauannya, tanpa menyebutkan merk dan warna sepatu yang ingin ia gunakan. "Dan satu lagi, kamu harus dibiasakan memanggilku dengan princess Klara mengerti Cinde" Lanjutnya sambil tersenyum pengertian namun sangat menyebalkan dimataku. Aku hanya memutar bola sekali lagi, merasa muak dan ingin muntah mendengar nama panggilannya, "Ini tidak mecing ambilin lagi" Dan dia seenaknya melempar sepatu yang sudah ku ambil tapi tak mecing untuk bajunya membuat kamarnya berantakan dan itu juga pekerjaanku untuk merapikannya, dasar orang manja.

"Ayo cepetan ambilin sepatunya dan pasangkan di kakiku ini" Katanya memerintah, dia hanya duduk manis sambil memainkan telpon terbaru miliknya. Sedangkan aku sibuk kembali mencari sepatu apa yang kira - kira pas untuknya.

Aku menemukan sepasang sepatu yang menurutku pas dengan baju yang saat ini Klara pakai, sepasang sepatu sederhana tapi cantik dengan warna biru lembut membuatku ingin memakainya. Saat sedang membayangkan aku memakai sepatu yang ada ditanganku, telpon yang ada disaku clemekku berbunyi. Tanpa melihat namanya aku pun mengangkat telpon itu.

"Ha......

"UUUUPIIIIIK" Kata sapanku terpotong dengan sebuah teriakan yang membuatku langsung menjauhkan telpon itu dari jangkauan telinga, sedangkan Klara menutup telinganya dengan kesal.

"Kamu dimana? Ini masakanmu gosong, cepat kemari" Perintah tegas suara diseberang membuatku tersadar bahwa aku meninggalkan masakanku. Dengan segera aku berlari keluar kamar Klara dan menuruni tangga ke arah dapur, tanpa mempedulikan sepatu serta Klara yang ngedumel marah.

"Ya ampun" Kataku panik saat memasuki area dapur dan melihat ikan gorengku hitam legam di penggorengan dengan asap yang mengepul.

"Ikannya gosong tante" Kataku sedih karena sudah susah payah membersihkan dan meracik bumbu untuk masak ikan, namun ikan itu akhirnya gosong.

"Tadi kan saya sudah bilang, kenapa kamu tinggal - tinggal! Hah!"Kata Tante Irma mamanya Klara, Mamaku juga. Namun hanya mama tiri yang tidak punya belas kasih sama sekali.

"Tadi aku ke kamar Klara,Terus gimana tan?" Tanyaku bingung dan mendapat pelototan olehnya.

"Saya nggak mau tau, kamu harus goreng ikan itu lagi dalam waktu" Kalimatnya berhenti hanya untuk melihat jam tangannya yang terbaru.

"5 menit harus bisa saya makan untuk sarapan, ngerti kamu!" Kalimat penutup yang sukses membuatku menganga dalam bingung, bagaiman bisa dalam waktu 5 menit ikan itu harus siap untuk dimakan, sedangkan ikan yang baru masih utuh di almari es beserta kotorannya, yang harus aku bersihkan terlebih dahulu. sedangkan dia hanya melenggang pergi dan duduk manis di depan tv sambil membaca koran dan minum teh yang sudah aku siapkan dengan santainya. 

"Kenapa bengong? Waktunya tinggal 4 Menit loh" Katanya dengan nada santai tapi sarat ancaman dibalik senyum yang menyebalkan. Benar - benar ibu tiri yang kejam, dan ngomong - ngomong adakah ibu tiri yang tidak kejam? Jawabannya aku tidak tau.

Dengan kalang kabut aku bersiap menggoreng ikan, tanpa membersihkan kotorannya terlebih dahulu, tidak peduli dengan kebersihan sekarang ini aku sedang diburu waktu, dengan tergesa - gesa aku mengambil ikan dari almari es dan merendamnya dalam air agar cepat mencair lalu mencelupkannya kedalam bumbu yang masih tersisa lalu memasukkan ikan itu ke dalam penggorengan. 

Saat sedang menyiapkan piring untuk ikan gorengku , telponku berbunyi lagi dan seperti biasa tanpa melihat nama orang yang menelpon, langsung memencet tombol penjawab.

"CIIIINDEEE, CEPETAN KEMARI" Dan teriakan itu pun terdengar kembali membuatku hampir jantungan dan hampir memasukkan telpon ke dalam penggorengan

"Ada apa sih Klara, aku sedang menggoreng ikan ini" Kataku pelan agar tidak terdengar oleh nenek sihir yang sedang menonton infotement, yang kini melirikku dengan sangat menyebalkan.

"ADA APA KLARA, ADA APA KLARA. Sudah kubilang panggil aku princes Klara, kamu tuli ya!" Bentaknya membuat aku geleng - geleng kepala.

"Iya ada apa princes Klara?"Jawabku dengan nada penuh penekanan sambil membalikkan ikan gorengku.

"Nah gitu donk, cepet kemari! Bantu aku merapikan rambutku!" Perintahnya tegas

"Ta..........

"Tidak ada tapi - tapian, setengah menit kau harus sampai di kamarku!!!!!!" Perintahnya sambil menutup telpon tanpa mau menerima penjelasanku terleih dulu, dengan segera aku mematikan kompor dan mengangkat ikan goreng lalu meletakkannya di piring yang sudah aku siapkan. Dengan cepat aku berlari kearah kamar Klara tanpa berniat cuci tangan terlebih dahulu. 

Begitulah kesibukkan di pagi hari ku, berlari - larian naik turun tangga hanya untuk menuruti perintah orang yang sangat menyebalkan. Mereka seperti bersekongkol untuk membuatku repot dipagi hari, dengan menyuruhku secara bersamaan. 

Memang benar nyanyian ibu tiri hanya cinta kepada ayahnya saja! Dulu saat papa ada mereka sangat baik padaku dan menyanyiku dengan sepenuh hati, aku yang tidak pernah merasakan kasih sayang ibu karena beliau telah meninggal saat melahirkanku mendapat kasih sayang ibu dari ante Irma. Namun semuanya berubah saat ayah meninggal dalam kecelakaan 10 tahun yang lalu, mereka mulai memperlakukanku seperti seorang pembantu sedangkan semua pembantu di suruh pulang oleh tante Irma.

Membuatku kalang kabut memenuhi perintah mereka, hingga saat ini aku terbiasa dengan ulah mereka dan sesekali memberontak kecil dan mendapat hukuman yang jauh dari kata kecil karena ulahku.

Setelah selesai membantu Klara merapikan rambutnya aku turun dan bersiap menghidangkan ikan goreng untuk sarapan mereka berdua, sedangkan aku seperti biasa hanya mendapatkan sisa mereka.

Semua sudah beres tinggal menyuruh tante Irma untuk sarapan dan menyuruh si cewek cempreng turun, Tante Irma langsung menempati tempat duduk yang dulu di duduki papa saat masih hidup hingga menunjukkan bahwa dia lah yang berkuasa di rumah ini. Aku pun menaiki tangga menuju kamar Klara namun saat berada di tengah - tengah tangga, aku berhenti karena mendengar teriakan.

"CIIIIIIIIIIIINDDDDDDDDEEEEEEEEEEEEEEEEE, UUUUUUUUUUPPPPIIIIIIIIKKKKKK" Yang membuatku menutup telinga sambil sempoyongan seakan rumah ini bergetar karena terlalu kencang teriakan mereka. 

"RAMBUUTKU KENAPA BAU IKAN!!" Itu teriakan dari Klara yang pertama ku dengar.

"KENAPA IKANNYA MASIH MENTAH, KAMU KIRA SAYA KUCING APA!!" Itu teriakan kedua yang ku dengar dari tante Irma.

Klara keluar dari kamar dengan raut merah menahan marah, sedangkan tante Irma tak kalah merah yang kini sedang menatapku dengan tajam. Aku hanya nyengir sambil menggigit bibir.

"Maafkan aku, sa.......lah ka..lian...... sendiri. Menyuruhku ini itu diwaktu yang bersamaan"Kataku membela diri sambil menatap mereka dengan waspada.

"JADI KAMU MENYALAHKAN KAMI??" Teriak mereka bersamaan membuatku menutup telingaku entah untuk ke berapa kali di pagi hari ini.




****




Beginilah nasib anak tiri dilarang makan sebelum semua pekerjaan selesai, akibat dari kesalahan mereka karena menyuruhku dengan seenaknya, aku disuruh membersihkan semua tempat dirumah ini yang sebenarnya sudah bersih, namun sengaja dikotori oleh Klara dan Tante Irma sebagai hukuman, tanpa ada sarapan dan makan siang hingga semuanya selesai dengan sangat bersih.

"Duuuh kasian si Cinderella, ia di hukum oleh sang ibu tiri karena kesalahan yang tidak disengaja" Kata - kata seseorang menghentikkanku dari kegiatan membersihkan kolam renang yang terdapat banyak sampah, aku pun menoleh dan menatapnya dengan garang.

"Kenapa menatapku seperti itu nona Cindy?" Kata Maman seorang tukang kebun yang tidak dipecat oleh Tante Irma dan dia juga satu - satunya orang yang memanggilku dengan sebutan Nona karena menurutnya aku adalah Nonanya bukan pembantu seperti dia.

"Sudah ku bilang aku tak suka kau banding - bandingkan kisahku dengan Kisah Cinderella" Kataku kesal karena omongannya yang selalu menyamakan kisahku dengan kisah dongeng Cinderella yang sangat terkenal.

"Loh emang kenapa non? Bukannya memang mirip ya?" Katanya polos membuatku menatapnya semakin garang. 

"Sama bagaimana Cinderella cantik, sedangkan aku biasa aja. Dia orang yang lemah lembut, sedangkan aku tak mau dibilang lemah oleh siapapun. Dia suka menangis, Aku? hanya beberapa kali menangis, dan terakhir menangis saat kematian papa. Cinderella tidak mempunyai teman, tapi aku mempunyai teman meski hanya satu" Kataku sombong kepada Maman yang kini mengerutkan kening sambil menatapku.

"Emang kamu punya teman? Nona?" Tanyanya dengan nada penuh penekanan pada kata teman, yang menandakan bahwa aku tak mempunyai teman sama sekali.

"Kamu lah siapa lagi?" Jawabku tak memandangnya dan meneruskan pekerjaan membersihkan kolam renang, dan aku merasakan seseorang berdiri disamping yang kini memandangku.

"Kenapa?" Tanyaku pada Maman yang kini berada disampingku,

"Sejak kapan aku mau jadi teman Nona?" Katanya dengan nada dibuat - buat membuatku kesal dan bersiap memarahinya, namun alih - alih marah aku malah tertawa saat melihat wajahnya yang sengaja dia buat sepolos dan selucu mungkin.

Itulah Maman seorang tukang kebun bertubuh gempal yang mampu membuatku tertawa saat dalam keadaan apapun, apalagi disaat hatiku kesal karena perbuatan ibu tiriku.

"Nah gitu donk Nona Cinderella! Nona Cinderella sangat cantik jika tertawa. Jadi tertawa terus lah" Katanya membuatku menjitak kepalanya dan ia hanya meringis kesakitan.

"Sudah ku bilang jangan panggil aku Cinderella"Kataku kembali kesal, namun dia hanya terkekeh.

"Tapi kan memang nama non mirip nama Cinderella. Kisah hidupnya juga" Katanya.

"Nama memang mirip, kisah juga miriplah" Kataku dan mendapat anggukan darinya, "Tapi Cinderella kisahnya berakhir bahagia, karena dia akhirnya menikah dengan pangeran! Sedangkan aku? aku aja nggak tau nasibku entar gimana, Hari gini masih ada pangeran yang baik hati mau memilih seorang upik buruk rupa, kayaknya cuma mimpi deh" Jawabku dengan santai, namun Maman terlihat serius.

"Kalau begitu Nona berdoa saja agar nasib Non sama seperti Cinderella" Jawabnya dan ku balas hanya dengan anggukan kepala santai lalu melanjutkan pekerjaanku.




****




Karena aku kuliah di malam hari membuatku tidur jam 12 malam, dan harus bangun jam 4 pagi setiap harinya. Setiap hari juga saat di rumah aku tidak bisa makan dengan enak karena perbuatan ibu tiriku, membuat tubuhku kering kerontang serta tanpa gizi. Sebenarnya masih ada gizinya dan belum kurus kering kerontang, hehehehe.

Pagi ini aku bangun seperti biasa dan melaksanakan kegiatan pagi hariku seperti biasa pula, hingga makanan siap dan aku tak mendengar telepon berdering seperti biasa.

"Ini Aneh? Sejak kapan mereka tak menggangguku di pagi hari!" Kataku sambil melihat telpon yang dikhususkan hanya untuk panggilan - panggilan perintah dari Klara ataupun tante Irma.

Biasanya ponsel itu akan berbunyi jika aku masih memasak dan mulai menyuruhku macam - macam, tapi hari ini ponsel itu tak berbunyi bahkan berkedip pun tidak, padahal hari ini bukan hari libur, lagi pula hari libur atau bukan mereka pasti menggangguku. Akhirnya aku memasukkan kembali benda itu ke saku clemek dan membersihkan peralatan bekas memasakku tadi.

Setelah bersih aku berniat untuk memanggil tante Irma untuk sarapan, bagaimanapun juga aku sudah terbiasa dengan perintah - perintah yang menyebalkan dari mereka. Jika tidak ada perintah seperti ini rasanya aneh. 

"HAH"Baru saja aku berbalik dan hendak berjalan ke kamar Tante Irma, orang yang akan aku cari sudah berada di hadapanku saat ini dengan senyuman yang tidak seperti biasanya.

"Kenapa kaget seperti itu?" Tanya Tante Irma dengan lembut, yang justru membuatku merinding,

"Nggak ke..na.pa napa kok Tan" Jawabku sambil menelan ludah, ini beneran aneh aku yang terbiasa dengan nada kasar tante kini dia berkata denganku selembut suara ibu kepada anaknya. Mau tak mau membuatku curiga dengan gelagat tante.

"Kenapa bengong ayo kita makan bersama, ada hal yang ingin tante bicarakan" Katanya yang sukses membuatku menganga tak percaya, sejak kapan dia mau satu meja makan denganku? Mungkin iya saat dulu ada Papa dan aku bisa menikmati makanan yang ada di meja, lah ini Papa udah nggak ada sejak saat itu Tante Irma tak pernah baik padaku. Apa jangan - jangan arwah papa sedang berkunjung kesini? Memikirkan hal itu membuatku bergidik ngeri sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

"Woooi bengong, ayo duduk!!" Perintah Klara yang membuatku semakin bingung sejak kapan dia ada disini? dan sejak kapan pula dia menyuruhku duduk di meja makan?. Ini bener - bener aneh.

"Ya elah, kalau kamu nggak duduk, kapan kita makannya?" Kata Klara nggak sabar,

"Klara sayang, Sabar donk!" Kata Tante Irma membuat Klara mengerucutkan bibirnya kesal karena dapat teguran dari mamanya, itu teguran pertama yang tak pernah aku dengar sebelumnya, "Cindy ayo duduk kita makan bersama" Ajak tante Irma kepadaku sambil tersenyum membuatku menunjukk diriku sendiri, siapa tau yang dimaksud Cindy oleh Tante Irma bukanlah aku, namun dia mengangguk dan itu bukannya membuatku merasa lega namun semakin bingung karena sikapnya.

"Sejak kapan dia memanggil nama asliku" Gumamku sangat pelan dan bisa dipastikan tidak ada yang mendengar kecuali diriku sendiri sambil menarik kursi di depanku.

Kami pun makan makanan yang telah aku siapkan dengan tenang, berkali - kali aku melirik tante Irma dan Klara secara bergantian namun mereka tetap tenang seperti biasanya dan ketika mereka menatapku, tante Irma tersenyum manis dan Klara tersenyum dengan sedikit dipaksakan.

Untuk mengetahui ini mimpi atau bukan aku berkali - kali mencubit lenganku dan rasanya masih sama yaitu sakit dan itu bisa menajdi bukti bahwa aku tidak bermimpi. Setelah selesai makan Tante Irma berdehem lalu menatapku dan membuatku merasakan sesuatu yang tidak beres.

"Cindy tante ingin berbicara sama kamu, tentang masa depan kamu" Kata Tante Irma dengan nada selembut seorang ibu kepada anak gadisnya.

"Maksud tante?" Tanyaku selidik merasa curiga, Tante Irma tersenyum

"Tante akan menjodohkan kamu dengan seorang pangeran kaya raya, seperti impianmu" Jawab Tante Irma yang membuatku semakin bingung. Memang menikah dengan seorang pangeran tampan dan kaya raya adalah impianku, seperti kisah Cinderella. Tapi kupikir bukan aku saja yang menginginkannya semua gadis bahkan Klara yang saat ini berada di depanku juga menginginkannya, kenapa Tante Irma malah menawari aku dulu sebelum Klara? Apa jangan - jangan Klara sudah tau kalau pangeran itu jelek dan dia menolak lalu menyuruh tante Irma untuk menjodohkan ku dengan lelaki itu?

"Mama apa - apaan sih? Kenapa yang di tawari Cindee bukannya aku anak mama sendiri! harusnya mama menawari aku bukan Cinde?" Kata Klara membuat dugaan ku salah, ternyata dia belum tau tentang hal ini.

"Bukannya begitu sayang, tapi pangeran ini sudah memilih Cindy untuk menjadi pasangannya!" Kata Tante Irma, setau aku kalau di dongeng Cinderella sang ibu tiri akan menyembunyikan Cinderella dan akan menunjukkan putri kandungnya yang tidak cantik itu kan? Tapi kenapa di kisahku ini malah ibu tiri langsung menunjuk aku ya??

"Mama nggak adil, bener - bener nggak adil" Sungut Klara dengan wajah merajuk melihat itu membuatku tersenyum puas dan penuh kemenangan, namun masih ada rasa keadaan ini sangat aneh.

"Sudahlah, Mama sudah memutuskan untuk menerima pinangan ini untuk Cindy jadi kamu tidak bisa apa - apa" Kata Tante Irma yang membuatku menatapnya tak percaya.

"Apa maksud tante? Tante sudah menerima pinangan itu tanpa bicara dulu padaku?"Tanyaku dan dibalas dengan anggukan Tante Irma "Tante! bagaimana mungkin tante seperti itu?" Kataku mulai curiga dengan sikap Tante Irma, dia sangat lancang dengan menerima pinangan itu tanpa bicara dulu padaku.

"Emangnya kenapa? Tante yakin kamu akan senang, karena dia adalah pangeran kaya dan itu sesuai dengan impian kamu kan?" Jawab Tante Irma santai namun nadanya mulai meninggi.

"Tapi tetap saja tan! Kalau aku tidak suka dengannya gimana? Aku nggak mau hanya karena dia kaya aku menikah dengannya. Apalagi aku belum bertemu dengan orang itu sama sekali, bagaimana kalau dia seorang kakek - kakek tua yang mempunyai banyak istri, bagaimana" Kataku dengan nada ber api - api menahan kesal dan kalimatku terpotong oleh ucapan Tante Irma,

"Tepat sekali" Kata Tante Irma sambil tersenyum sumringah, membuatku semakin memicingkan mata.

"Maksud tante?" Tanyaku berharap bahwa dugaanku salah.

"Ya tepat sekali apa yang kamu bilang tentang tunanganmu, tapi dia belum jadi kakek ko'. Dia baru berumur 52 tahun dan memiliki satu istri mungkin kamu akan dijadikan istri keduanya" Kata Tante Irma sambil mengedip kedipkan matanya.

"APAA" Teriakku sambil berdiri dari kursi dan memandang tante Irma dan Klara yang menutup telinganya, biasanya aku lah yang selalu menutup telinga karena teriakan mereka sekarang keadaannya terbalik dan aku tak suka ini.







To be Continue!!




tadinya ini cerpen mau aku jadiin one shot aja, tapi ternyata terlalu panjang. Jadi apa boleh buat aku jadiin dua bagian deh.

1 comments:

Unknown said...

Nnnggg...
Cuma mau sedikit ngoreksi... Banyak EYD yang salah...

BTW... Datang ke blog saya ya...

www.gorigotri.blogspot.com