Hai - hai Cinderella dan Beuaty & the Beast nya datang lagi nih,
Ya berharap aja pada suka ya ma cerita ini :-)
"APA" Teriakku sambil berdiri dan melihat Tante Irma serta Klara yang sedang menutup telinga secara bergantian.
"Aduh ampun deh, bisa tenang nggak sih, kamu bikin kuping saya budek tau nggak!" Bentak Tante Irma dengan mata melotot.
"Ya nih, nggak usah teriak segitunya kali" Kata Klara membuatku menatap mereka tak percaya.
"Kalian bilang aku harus tenang?" Kataku masih tak percaya dengan kata - kata santai mereka," Bagaimana aku bisa tenang kalau aku mau dijodohin sama kakek - kakek"
"Bukan mau, tapi udah dijodohin! dan kamu nggak bisa menolak Cindy. Ayo duduk dengan tenang" Kata Tante Irma yang membuatku semakin geram.
"Tante apa -apaan sih, masa tante tega jodohin aku sama orang yang lebih tua 30 tahun dari ku, aku ini kan anak tante juga" Kataku setelah duduk kembali dengan nada sedih.
"Anak Tiri"Koreksi Tante Irma santai dan lebih memilih memandangi jeruk yang sedang dibersihkan dari memandang wajah memelasku.
"Iya, tapi harusnya aku masih punya hak untuk menolak donk tante!" Kataku memelas, namun ditanggepi gelengan kepala Tante Irma.
"Sayangnya tidak Cindy, undangan sudah tersebar dan satu minggu lagi kamu akan bertunangan"
"APA" Ini kedua kalinya aku berteriak sambil berdiri dengan mata yang melotot pula,
"Aduhh Cindy, kamu bener - bener yah! Kuping saya sakit ini" Kata Tante Irma sambil mengelus - elus telinganya, begitu juga dengan Klara. Kenapa sih mereka? biasanya aku yang seperti itu tapi kenapa mereka yang kesakitan mendengar teriakan yang hanya baru dua kali, catet baru dua kali karena sebelumnya aku tak pernah berteriak seperti ini, sedangkan mereka selalu saja berteriak - teriak jika berbicara denganku, telinga siapa yang seharusnya sakit.
"Duduk! tante belum selesai bicara" Perintah tegas Tante Irma membuat ku terpaksa duduk dan menaruh kedua tangan di meja makan.
"Tante nggak bisa gitu donk, aku masih punya hak untuk menolak itu" Protesku masih berusaha tak mau kalah dengan keputusan nenek lampir ini, meski kurasa sia - sia karena terlihat Tante Irma menggelengkan kepalanya.
"No.....no........no" Kata tante Irma kalem sambil menggoyang - goyangkan jari telunjuknya, "Tante kan udah bilang, kamu nggak bisa menolak, dan jangan coba - coba untuk kabur. Kalau kamu sampai kabur jangan harap kamu bisa balik lagi ke rumah ini" Kata Tante Irma penuh nada peringatan, seakan tau apa yang dikatakannya adalah apa yang aku pikirkan saat ini.
"Emang kenapa aku nggak boleh kesini lagi, ini kan rumah papaku jadi Tante nggak berhak ngelarang aku untuk ke sini" Kataku berani sambil mengangkat dagu, bodo amat deh dengan hukuman yang mungkin akan aku dapatkan karena berani dengan Tante Irma, sekarang ini aku sudah sangat kesal sama Tante Irma. Toh udah dari tadi aku berani sama dia.
"Hei sadar donk, bukannya rumah ini sudah dialihkan menjadi nama Mamaku, mama punya haklah untuk melarang kamu atau bahkan mengusir kamu saat ini juga!" Kata Klara sambil mengikuti gayaku, ini anak bener - bener seorang peniru, tak bisakah dia punya gayanya sendiri.
Aku benar - benar lupa bahwa saat pembacaan warisan, rumah ini sudah di ganti atas nama Tante Irma, itu cukup membuatku merasa benar - benar kecewa.
"Ya Allah apa yang harus aku perbuat, aku nggak mau menikah sama bapak - bapak tua itu. Tapi aku juga nggak mau pergi dari rumah ini" Bisikku dalam hati.
Disaat genting ini aku hanya bisa menunduk tanpa berani melihat ke arah Tante Irma dan Klara yang kini sedang tersenyum menjengkelkan.
"Udah lah Cindy, kamu terima aja nasib kamu. Toh menikah dengan pria kaya raya itu adalah hal yang banyak orang impikan,. Aku bahkan sangat iri denganmu" Kata Klara dengan nada pilu, namun nada pilu yang teramat sangat di buat - buat, membuatku mendongak dan menatap tajam kearahnya.
"Kalau gitu kamu aja yang nggantiin aku" Gumamku tanpa sadar, dan mendapat tatapan tajam dari Klara.
"Sudah Tante bilang bahwa orang itu telah memilih kamu, bukan Klara. Dan ini adalah undangan pertunangan kalian" Kata Tante Irma sambil melemparku sebuah undangan dengan warna krem dan bertuliskan
RAKA ADIQIA HERMAWAN
&
CINDY ARIELLA ANASTASYA
Namaku dan nama orang yang bertunangan denganku, membuatku menatap Tante Irma dengan perasaan campur aduk, merasa kecewa, marah dan lebih ingin menangis karena ulah tante Irma yang kini menyiksaku tidak hanya secara lahir namun batin juga.
"Mama, sebenarnya aku sangat iri dengan Cindy, tapi aku akan terpaksa mengikhlaskan ini untuk kebahagiaan kakakku tersayang" Kata Klara sambil menatapku dengan wajah prihatin, tapi tersenyum penuh kemenangan.
Kata - katanya sungguh membuatku muak, dia bilang dia terpaksa ikhlas tidak bertunangan dengan pangeran kaya tapi wajahnya sungguh melihatkan betapa senangnya dia, melihatku tekanan batin karena harus menikah dengan orang yang lebih pantas menjadi ayahku. Jangan bilang kalau dugaan awalku benar, kalau Klara sudah tau orang yang akan dijodohkan denganku, sikap awalnya tadi hanya sebuah akting belaka. Aku bodoh karena terkecoh oleh ucapannya.
Darahku berdesir ingin sekali menjambak rambutnya, mencolok matanya atau bahkan mencincangnya hidup - hidup. Andai saja nggak ada Tante Irma disini mungkin aku sudah melakukan hal yang saat ini aku pikirkan, kedua tanganku terkepal dan menatapnya dengan tatapan membunuh yang bisa aku lakukan, meski aku tak yakin apa dia takut denganku atau tidak.
"Sudahlah sayang, nggak usah iri sama Cindy, Mama yakin di luar sana masih banyak pangeran kaya raya yang akan memilihmu" Oh Good, sekarang aku sedang menonton drama secara live yang diperankan oleh Tante Irma dan Klara.Bagaimana mungkin, tante Irma mengatakan kalimat itu dengan nada sedih namun raut wajah yang sangat bahagia.
"Dan sama kamu Cindy, tante sangat bahagia. Jadi mulai sekarang kamu nggak perlu melakukan berbagai pekerjaan, cukup kamu merawat diri kamu sendiri agar terlihat cantik di pesta pertunanganmu" Kata Tante Irma sambil tersenyum lembut. Kalau aku harus memilih, aku lebih suka mendengar kata - kata kasar dari Tante Irma dari pada harus kata lembut yang seperti ini.
"Kalau aku boleh memilih, aku lebih suka melakukan pekerjaan seperti biasa dari pada harus melakukan perawatan hanya untuk pesta sialan itu" Kataku sambil berdiri dan pergi dari ruang makan tanpa mempedulikan Tante Irma dan juga Klara.
****
"HUUUWAAAA, hidup dan hatiku hancur berkeping - keping. Huwwaaa! mereka benar - benar tega" Kataku disela tangisan sambil mengambil tisu yang ku buat untuk menyeka ingusku.
"Apa mereka nggak puas hanya dengan menyiksa lahirku saja? Sekarang menyiksaku dengan batin juga huwaaa" Kataku sambil menengok ke seseorang yang kini berada di sebelahku
Maman bukannya ikut sedih, malah menatapku seakan sedang menahan tawa yang membuatku menatapnya dengan tatapan tajam, meski dipenuhi air mata. Apa -apaan dia? Aku sedang sedih bukannya ikut sedih, tapi malah berekpresi seperti orang ingin ketawa.
"Kenapa? Nggak pernah melihat orang nangis? Nggak sedih gitu, tau aku mau tunangan sama kakek - kakek?" Sungutku sebal dan orang yang ada di sebelahku ini hanya terkekeh pelan, membuatku makin kesal dan mengusap air mata dengan kasar.
"Bukan begitu Nona! Saya juga prihatin sama masalah Nona, tapi saya nggak bisa apa - apa juga kan?? Dan terus tangisan Nona Cindy terlalu Alay, biasanya kan yang alay Nona Klara! Baru kali ini saya melihat nona menjadi alay dan itu sangat lucu!" Katanya tanpa harus menyembunyikan lagi tawa yang sedari tadi dia tahan.
Maman benar sih, dia memang nggak bisa berbuat apa - apa, bahkan aku saja nggak bisa berbuat apa - apa untuk menghindarinya, tapi senggaknya dia kan bisa menghiburku tanpa harus tersenyum seakan sedang terhibur. Aku sedang menangis ini, bukan sedang menghibur seseorang. Dan apa yang tadi dia bilang? Aku alay? apa duduk dilantai, mencak - mencak kan kaki dan menangis histeris apa termasuk perbuatan alay ya? memikirkan hal itu aku langsung bangkit dan duduk di kursi tempat Maman duduk.
Aku hanya menatapnya makin tajam sambil mengusap air mataku lagi, entah kenapa tangisku langsung berhenti, tidak sehisteris tadi dan kini aku sudah sedikit tenang. Entah kenapa Maman bisa menghiburku dengan caranya sendiri.
"Minum dulu nona biar tambah tenang" Katanya sambil menyodorkan segelas teh anget yang tadi sempat ia bikin, aku mengambilnya dan meminum teh itu hingga setengah gelas, menangis histeris membuatku kehausan.
"Sudah tenang?" Tanyanya saat aku mengembalikan gelas kepadanya, aku hanya mengangguk lalu mengusap bibirku.
"Tapi bagaimana caranya aku untuk lari dari masalah ini? Aku nggak mau menikah dengan kakek - kakek itu"
"Bapak, dia baru berumur 52 tahun, Nona" Potong Maman dengan nada sedikit tersinggung, namun aku hiraukan.
"Tetap saja, dia 30 tahun lebih tua dari aku! Tante Irma yang seharusnya menikah dengan dia bukan aku" Kataku melanjutkan curhatan yang entah sudah keberapa kali aku ceritakan kepada Maman.
"Tapi dia udah memilih nona, dan lagi pula kalian baru mau bertunangan bukan menikah" Sahut Maman
"Iya aku tau itu, makanya aku frustasi. Kenapa sih harus aku yang dipilihnya nggak tante Irma aja" Kataku, namun beberapa detik kemudian aku mendapatkan sebuah semangat.
"Kamu bilang apa tadi?" Tanyaku pada Maman yang membuatnya bingung dan menatapku dengan dahi berkerut.
"Ach ya kamu benar, kalau aku baru mau bertunangan dengannya belum menikah. Itu artinya aku bukan sepenuhnya miliknya kan ya?" Kataku dengan mata berbinar "Dan sebelum janur kuning melengkung, masih ada kesempatan untuk membuatnya batal.
Hem mungkin aku akan bertingkah untuk membuatnya malu" Kataku dengan membayangkan aku akan melakukan apa saja agar pertunangan ini dibatalkan.
"Tidak mungkin, dia mau melepaskan Nona. Dan pernikahan Nona akan dilaksanakan tiga bulan lagi" Kalimat sanggahan Maman membuatku menatapnya curiga.
"Bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu?" Tanyaku menatapnya dengan mata dipicingkan, "Apa kamu tau sesuatu tentang ini?"
Maman terlihat salah tingkah dan dia menunduk membuatku semakin mencurigainya.
"Cuma asal nebak nona" Jawabnya namun aku masih menatapnya dengan curiga "Siapa tau aja kan saat dia melihat Nona secara langsung dia justru akan mempercepat pernikahannya. Bahkan mungkin satu minggu lagi"
"Hah, bagaimana mungkin seperti itu? Tapi bisa juga sih, kalau dia adalah bapak - bapak mesum yang kebenget. Haduh gimana ini?" Kataku dengan wajah panik lalu menoleh kearah Maman yang kini hanya menaikkan bahu saja.
Aku menatap Maman lekat - lekat sambil berpikir untuk mencari solusi masalahku. "Seandainya saja aku kabur aku mau kemana? Aku nggak punya saudara di kota ini. Apakah aku dijinin kabur ke rumah keluarganya Maman ya?" Pikirku dalam hati.
"Maman, aku boleh kabur ke rumah kamu nggak? Tanyaku
"HAH" Pekik Maman kaget mendengar pertanyaanku.
"Karena menurut aku satu - satunya cara untuk menghindar dari masalah ini ya dengan cara kabur dari rumah sebelum hari H, meski dengan resiko tidak akan bisa kembali kesini " Kataku cepat saat melihatnya kekagetannya.
"Mana bisa seperti itu? Kalau Non kabur ke rumah saya, bisa - bisa dikira Non ada main sama saya. Karena di keluarga saya dilarang membawa seorang perempuan kecuali Istri atau setidaknya Calon" Jawabnya dengan nada bingung.
"Kalau gitu ayo kita menikah" Celetukku
"HAH" Tanggapannya mendengar omongonku dengan mulut menganga.
"Atau nggak kita tunangan aja dulu, aku lebih rela tunangan sama kamu dari pada sama bapak - bapak aneh yang aku sendiri tidak tau mukanya seperti apa"
"HAH" Lagi - lagi kata dan ekspresi yang sama yang aku liat dari Maman, membuatku memutar mata kesal.
Sebenarnya aku juga nggak pernah bermimpi akan berbicara seperti ini sama Maman, tapi aku tidak ada pilihan lain dan aku juga bersungguh - sungguh dalam hal ini, karena aku merasa nyaman dengan Maman dan selama ini laki - laki yang dekat denganku hanya Maman seorang.
Menurutku secara fisik dia lumayan tampan, hanya saja tubuh gendutnya yang membuat dia terlihat jelek. Meski tubuh Maman gendut, tapi anehnya pipinya nggak ada tembem - tembemnya, bahkan lebih tembeman aku dari pada dia, dan juga tubuh gendutnya itu aneh, seperti tidak wajar.
"Jawab!! Bukan Hah, Hah mulu” Bentakku “Gimana mau nggak?" Kataku menuntut kepastian saat dia hanya membuka mulutnya dan seperti tidak ada kata yang ingin keluar dari mulutnya. Mungkin kaget dengan ajakanku yang tiba - tiba, eh salah maksudku lamaranku yang tiba - tiba.
"Ach, eh.........hem gimana ya?" Katanya saat sadar sambil mengusap tengkuknya salah tingkah.
"Apa jangan - jangan kamu sudah mempunyai calon istri ya?" Tebakku dengan harap - harap cemas,
Maman kini menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa aku baca dan dia mengangguk perlahan membuatku menjatuhkan kepala ke meja merasa lemas karena penolakannya.
"Bukan Calon istri sih Non, tapi calon tunangan bentar lagi saya mau tunangan" Katanya yang membuatku semakin merasa lemas,
"Owh gitu ya, sama siapa?" Tanyaku sambil memandangnya tanpa mengubah posisiku
"Sama ceweklah Non, masa iya sama cowok" Katanya yang membuatku terdiam dan tersenyum kecil. Entah kenapa mendengar dia akan bertunangan membuat hatiku meringis.
"Berarti nggak ada cara untuk menghindar dari masalah ini donk ya" Gumamku untuk diriku sendiri sambil menelengkupkan wajahku "Dan itu artinya 7 hari kedepan aku harus menghadapi nasibku"
To Be Continue...........
Saya pikir dua part cukup ternyata tidak…………….
2 comments:
Kakak... lanjutin ceritanya dong.... penasaran ni..... :"(
lanjut dong..
Post a Comment